Selasa, 04 Desember 2018

I Am Afraid

Yo.
.
Gua baru saja menyelesaikan nonton sebuah serial anime untuk kedua kalinya.
Kayaknya 1 atau 2 tahun lalu, gua posting review-nya kesini.
Sekarang, gua terinspirasi untuk nulis lagi.
.
Sebelumnya, yohoho.
Udah lama nih gua nggak muncul kesini.
Kabar baik?
Makan sehat?
Tidur nyenyak?
Semoga semuanya deh. Amin.
.
Dan postingan ini pun akan memasuki area gelap.
Bagi yang tidak ingin hari-nya jadi rusak, monggo minggat. Ini peringatan satu-satunya.
Kalo masih niat baca, ya apalah daya saya yang nulis ini.
.
.
Gua tonton lagi serial anime itu.
Masih menarik.
Udah lama banget, jadinya walaupun gua inget sebagian besar ceritanya, tapi gua masih menikmati hal/emosi/detail kecil yang disajikan. Menarik sekali.
.
Langsung saja ke persoalan utama: Gua setuju dengan salah satu kalimat yang disampaikan salah satu karakter di anime ini.
.
.
Di episode 21, teman dekat dari tokoh utama ngomong sesuatu yang kurang lebih intinya begini, "Saya sadar dan sangat bersyukur karena [nama cewek] mencintai saya, tetapi saya tidak ingin jawaban saya merubah saya ke diri saya yang dulu. Saya merasa takut ketika memikirkan hal tersebut".
.
Cheesy
"Ecieeee yaelah!"
.
.
Gua cukup setuju dengan makna kalimat tersebut.
Entah kenapa, gua merasa kalau itulah yang gua rasakan selama ini.
Gua cukup yakin kalau gua mulai menceritakan kisah-kisah masa lalu gua, maka cuma akan terbaca sebagai "cuk lu cuma nyama-nyamain aja, selow dong bro", sehingga sebaiknya gua nggak usah cerita melulu.
Kalau lu pengen cari tahu, banyak kok ceritanya di blog ini. Berkelimpahan. Bergelimang.
Kalau lu merasa "ni orang ngomong apa sih???" Selamat datang di blog ini. Salam kenal.
.
Sebagai anak yang tumbuh dengan predikat "pendiam dan pemalu" terpasang di dahi gua tanpa ada motivasi dari luar dan dalam untuk merubah salah satu atau keduanya, gua tumbuh dengan keinginan terpendam untuk "menjaga status quo".
"Asalkan gua tetep di posisi yang sama, dunia akan tetap sama, dan berbahagialah semuanya". Itulah mimpi besar yang tidak terutarakan. Sepertinya begitu. Koreksi dan kritik diri sendiri memang sulit dilakukan.
.
"Kalau gua menyatakan kalimat sakral yang umumnya ingin dikatakan oleh para remaja pada masanya, dunia bakal berubah; gua bakal berubah dan perubahan sepertinya bukan ide yang bagus".
Ide yang sangat mengundang untuk gua, pada masanya.
Tapi apalah artinya kebiasaan kalau nggak dilakukan secara rutin selama minimal 21 hari.
Menghidupi ide ini selama bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang pun, mungkin bukan ide yang bagus di jaman yang lalu.
Dari yang gua inget, ada 2 kesempatan dimana ada secercah keinginan untuk "merubah status quo" dalam diri gua. Sekali pas SMA kelas 3, dan sekali pas kuliah S1 semester 7. Sekarang sudah 2018. Ocehan gua bisa dibilang cuma jadi tangisan penyesalan seorang kakek karena nggak memutuskan untuk melakukan hal besar di masa mudanya.
Dan mimpi untuk diselamatkan oleh seseorang pun kayaknya udah terlalu jauh.
Apalah artinya ingin diselamatkan kalau keinginannya nggak diumumkan ke pihak-pihak yang bisa menyelamatkan? Nggak ada, kan?
Bahkan Tuhan yang Maha Mengetahui isi hati manusia pun sebaiknya kita ajak bicara lewat doa-doa kita. Pernyataan itu penting.
Tulisan ini pun sepertinya bakal berakhir di blog ini, di postingan ini.
Sebagian dari sel-sel tubuh gua nggak ingin seperti itu, tapi sebagian yang lain cuma ingin menghela napas dan berkata "Ya sudahlah. Inilah haluan dunia".
.
.
Hmmmmmmmm.
Mungkin gua cuma laper aja.
Mungkin gua cuma semakin haus aja.
Mungkin gua cuma merasa tidak pantas karena masih belum keluar dari sekolah sejak masuk pertama kali di usia 5 tahun.
Entahlah.
Hidup itu rumit kalau dipikirkan.
Dingin.
Yoho~

Tidak ada komentar :

Posting Komentar