Selasa, 07 Juli 2020

Tangisan Bawang: Puisi Twitter #1 + Intro

Yo.

Sedikit pembukaan.
Seperti yang mungkin lu baca (siapa juga yang baca blog ini), gua sudah menulis beberapa puisi di blog ini dengan kedok CP Rap.
Gua juga nulis beberapa terjemahan dari lagu-lagu berbahasa prancis dengan judul Belajar Prancis, sih. Tapi gak perlu dihitung karena gua cuma terjemahin doang.
Kali ini, gua mau ngebagiin sebuah puisi yang gua tulis di akun Twitter gua (@portoportule). Gua nulis disitu kalau lagi nggak pengen nulis disini atau karena gua cuma nemu beberapa baris aja.
Fakta menarik : Tidak Instan (TBC) tadinya cuma 4 baris di Twitter. Setelah itu, baru gua tambahin dan jadi 1 postingan di blog ini.
Fakta menarik 2 : TBC disitu bukan tuberculosis, bukan To Be Completed, tapi turut berduka cita.
Kali ini, gua mau membagikan apa yang ada di otak gua ketika gua nulis beberapa puisi yang sudah gua bagikan.
Semoga ada yang menikmati.
Pertanyaan bagus : emang blog ini ada yang baca?
Komentar terakhir aja cuma iklan gak jelas yang langsung gua hapus begitu gua lihat.

Pembukaan selesai.
Mulai postingan setipe selanjutnya (kalau ada lagi), setelah Yo. sampai baris kosong di bawah selanjutnya nggak akan muncul lagi.
Sumur sumur sumur.

Puisi hari ini: (tweet 19 Juni 2020)
teriakan di puncak gunung, teriakan yang tidak formal
jumlah pasien tinggi tinggi sekali, namanya new normal
mall dah buka nih gengs, tapi tetep di rumah aja ya, paranormal
di ujung terowongan ada cah'ya cah'ya, tapi bukan briptu norman
Pembahasan:
Jadi, gua waktu itu lagi super kepikiran tentang kehidupan sehari-hari.
Di tempat gua tinggal, pemerintahnya, setelah maksain adanya karantina yang sedikit demi sedikit dilonggarin karena kondisi masyarakatnya membaik, makin ngelonggarin karantinanya.
Di HQ1, a.k.a kampung halaman, a.k.a Kota Akhlakul Karimah, situasinya mirip sama perokok yang belum ngerokok. Asem di mulut. Coba bayangin rasanya buah salak yang super sepet. Gitu deh situasinya. Bukan nyeh, bukan meh, bukan waduh, tapi asem di mulut.

Situasi waktu itu, orang-orang lagi ngeributin soal "new normal". Bahasannya udah anyep sekarang. Menarik sekali.
Jadinya, gua mau nulis sesuatu tentang new normal.
Fakta waktu itu, ada rekor baru penambahan pasien tertinggi dalam 1 hari. BOOM! Baris ke-2 jadi.
Baris itu jadi titik keberangkatan gua.

Kurang sip kalau itu jadi pembuka, jadinya gua merasa mesti ada minimal 1 baris sebelumnya.
Terus gua mikir, "apalah artinya gua bikin tweet ini karena nggak ada yang tersinggung, nggak ada yang mendukung, nggak ada yang peduli. Huft." Rasanya kayak gua ngomong sendiri. Rasanya kayak gua teriak di atas gunung, sendirian. BOOM! Baris 1.

Berita lain waktu itu, ada beberapa mall di Indonesia yang katanya akan buka dengan aturan-aturan baru untuk menyesuaikan dengan pembatasan sosial. Di lain pihak, masih banyak juga orang-orang, terutama yang suaranya didengar seperti selebriti, yang mengingatkan orang lain untuk tetep di rumah aja.
"Ayo ke mall lagi" versus "di rumah aja kuy". Pertandingan abad ini. Berlawanan, nggak bisa disalahkan, sangat bisa diperdebatkan tapi rasanya saling nggak bisa menjelaskan sisi satu sama lain dengan baik. Menarik sekali. Baris 3.

Dari 3 baris itu, gua merasa capek. Saatnya ditutup.
Salah satu penutup dari sesuatu yang sedih dan lesu adalah sesuatu yang penuh harapan, yang menjanjikan, yang "habis gelap, terbit terang", yang "aku melihat setitik cahaya di ujung terowongan yang panjang dan gelap ini".
KURANG TEPAT!
Gua pengen sesuatu yang berima dengan "normal" dan gua mengingat 1 hal yang menarik, pada masanya, dan berima dengan "normal", yaitu seorang Briptu, pada masanya, bernama Norman.
Normal. Norman. Menarik sekali, menurut gua.
Briptu Norman = video lipsync lagu dari India, dan bagian yang paling teringat adalah bagian yang bunyinya sudah muncul di kepala lu.
"Apaan sih," pikir pembaca yang gagal paham.
Tolong cari dari Google aja. Gua nggak tau ejaannya gimana dan gua nggak mau bertanggungjawab untuk kesalahan pengejaan dan pemilihan katanya.
Bagian itu bisa disalahtuliskan menjadi "cahya cahya".
"Cahya" bisa disalahtuliskan menjadi "cah'ya" yang merupakan kependekan dari "cahaya" untuk penghematan 1 suku kata, mungkin.
Di lagu "Ambilkan Bulan", bagian terkait dinyanyikan sebagai "cahya" dan bukan "cahaya", jadinya gua ngikut aja. Tolong jangan salahin gua. Kenapa gua pilih pake tanda kutip adalah karena kalau nggak pake, jadi mirip nama orang dan gua nggak mau dituntut sama yang bersangkutan. Terima kasih.
Normal. Norman. Cah'ya. Ada cahaya di ujung terowongan. BOOM! Baris 4.

Demikian kupasan puisi kali ini.
Yoho~

Tidak ada komentar :

Posting Komentar