Senin, 30 November 2020

gua pengen ngomong tentang kekerasan di rumah gua x6

 Yo.


Selesai kerja, kembali ke blog.

Terus makan, main, menonton anime, dan mengistirahatkan badan.


Kali ini gua mau cerita tentang bagaimana orangtua gua menghukum gua waktu gua masih di jaman jahiliyah.

Keterangan: Gua tau judul postingannya demikian, tapi di rumah gua nggak ada jenis kekerasan lain, seinget gua (pujilah Tuhan hai jiwaku).


Yang paling klasik, dibentak. Gua rasa ini bentuk yang paling efisien dan bisa berdikari maupun jadi pembuka untuk bentuk hukuman lainnya. Minimal, bentakan bisa jadi suatu pengumuman ke orang yang berbuat salah kalo hukuman akan datang. Pada jamannya, sebagai anak yang sangat penasaran dengan hal-hal baru, gua sangat suka menggunakan kata-kata kasar yang baru gua pelajari, terutama dari temen-temen gua. Bapak gua dulu sering sih pake kata-kata kasar kalau lagi nyetir dan ada orang yang nyalip tanpa peringatan, tapi ibu gua menyeimbangkan dengan balasan yang menetralisir suasana sehingga anak-anaknya sadar kalau omongan itu nggak baik. Shoutout untuk La Signora Grande (mlg_air_horn.mp3). Untuk gua dan kakak gua (lebih sering gua karena gua lebih tolol, pada masanya), kalau La Signora Grande denger kita ngomong kata-kata kasar, maka hal yang pertama keluar adalah bentakan. Ngeri banget, dan pastinya ngurangin umur La Signora Grande. Untungnya seiring perkembangan jaman, gua dan kakak gua udah nggak tolol lagi dan semua anggota keluarga bisa hidup (lebih) damai.


Naik 1 level, ada "cabe rawit ke mulut". Ini biasanya adalah kelanjutan dari situasi di atas. Setelah dibentak, cabe rawit datang. Kalo gua pikir lagi, ini hukuman yang logis banget. Mulut berkata kotor, mulut dihukum. Untuk gua dan kakak gua, ini efektif banget. Kalau 1 anak lagi kena cabe, 1 anak yang lain akan ikutan takut dan diam. Kita nggak malah ngetawain anak yang dihukum. Apakah ini petunjuk kalau gua dan kakak gua itu bro abis? Gua rasa nggak. Yang nggak dihukum cuma jadi sadar kalau mulutnya juga kotor dan jadi diam karena takut ketahuan dan dihukum juga.


Naik 1 level lagi, gua rasa tingkatan ini cocok untuk sabetan ikat pinggang. Kalo lu merasa ini seharusnya nggak dilakukan, maka gua rasa lu salah. Menurut gua, kalo gua nggak pernah disabet, gua akan jadi kurang ajar sampai sepanjang masa (atau sampai akhirnya gua disabet). Sabetan ini muncul ketika gua dan kakak gua menciptakan masalah (berantem, ngomong kasar-dicabein-masih ngelawan, ngelawan ibu gua, dsb) yang berlanjut sampai bapak gua pulang kerja. Waktu itu, bapak gua sampai di rumah sekitar maghrib (sekitar tayangan adzan maghrib di TV). Kalau pas bapak gua turun mobil, anak-anaknya masih bermasalah, bersiaplah! Makan malem gua atau kakak gua akan penuh kesakitan hohoho.

Hukuman ini super efektif, surefire, 必殺 (romaji: hissatsu).

Apa!? Siapa yang bandel!? *ikat pinggang dilepas* Sabetan ke paha! CETARR! UWAOOO! (It's super effective!)

Yang gua suka (mungkin bukan pilihan kata yang terbaik) dari hukuman ini adalah sistem mitigasinya. Karena intensitasnya, darah bapak gua nggak tinggi lagi. Kemudian ibu gua akan 'merawat' anak yang dihukum. Iya sih, situasi rumah bakal super awkward; makan malem jadi sunyi, tontonan TV jadi nggak menarik, nggak ada tawa-tawa di malam hari sebelum tidur. Tapi ya, namanya bocah-bocah masih belajar, aksi = -reaksi. 


Gua rasa itu sih hukuman yang paling wadidaw yang pernah ada di keluarga gua.

Tapi ada 1 'hukuman' -pake tanda kutip karena hukumannya sempet dimulai, tapi nggak diselesaikan- yang kalau nggak diberhentiin, bakal jadi hukuman paling berat di keluarga gua.

Ibu gua pernah nyaris diusir dari rumah oleh bapak gua, dan lu udah bisa nebak penyebabnya, karena gua.

Waktu itu, gua lagi main dan gua jatuhin vas bunga ibu gua. Vas bunganya dari kaca, lumayan tebal sehingga nggak pecah. Bunga yang dipasang juga terbuat dari kaca, dan karena tangkainya panjang (toris = gaya x lengan), beberapa tangkai bunganya patah. Hiasan ini adalah hiasan favorit ibu gua waktu itu, sehingga wajar kalo ibu gua jadi marah ke gua dan ngambek. Gua dimarahin. Maghrib tiba, bapak gua sampai di rumah. Ibu gua jadinya ngambek ke bapak gua. Gua nggak terlalu inget detailnya karena gua dengan sengaja berusaha melupakan kejadian kelam ini, tapi yang pasti waktu itu bapak gua jadi marah ke ibu gua, kalau nggak salah karena nyalahin gua terus. Akhirnya, bapak gua nggak marahin gua tapi marahin ibu gua karena ngoceh terus tentang hiasannya yang sekarang jadi rusak (atau semacamnya). Terus, ancaman pengusiran itu pun keluar, sampai akhirnya bapak gua ngebentak ibu gua dan nyuruh ibu gua untuk ngerapiin 1 koper untuk diisi pakaian karena nggak boleh tinggal di rumah kita lagi.

Cuk, mata gua berair karena nginget cerita ini. Kembali lagi, puji Tuhan karena setelah itu, nggak pernah ada lagi kejadian yang kayak gini di keluarga gua. Der Weise Vater, La Signora Grande, kakak gua, dan gua sampai sekarang masih hidup dengan damai dan tentram, mungkin ada sedikit bumbu-bumbu yang menggigit tapi nggak sampe bikin sakit hati yang mendalam dan berbekas.


Cerita hari ini nggak ada hikmahnya (kayaknya). Kalaupun ada, gua ingin bilang, sebagai anak, kalo menyayangi orangtua itu penting. Cara yang gua rekomendasikan adalah dengan menghidupi hidup yang sukses (relatif), bahagia, dan bebas sambil minimal menghargai, maksimal menaati, perintah dan saran dari orangtua. Itulah yang gua lakukan sampai saat ini.

Q: Gimana maksudnya 'menghargai perintah dan saran dari orangtua' tapi nggak 'menaati'?

A: Ibu gua sempet keukeuh maksa gua untuk masuk ke kuliah kedokteran, bahkan sampe semester 3 kuliah sarjana gua. Waktu itu, gua buktikan kalau gua nggak mau masuk kedokteran dengan nilai bagus dan keteguhan untuk betah di Surabaya.


Gitu dulu aja deh cuplikan masa lalu gua untuk hari ini.


Yoho~

Minggu, 29 November 2020

gua pengen ngomong tentang temen-temen pertama gua sambil eksperimen bikin bakso x5

 Yo.


Campuran baksonya udah masuk ke kaldu yang sedikit blubblubblub, jadinya nggak akan gosong. #callback


NOSTALGIA!

Kalo mau ngomongin "secara teknis heuheuheu", temen pertama gua adalah kakak gua. Sialnya, gua rasa ini ngebosenin dan terlalu cliché.

Gua rasa temen pertama gua adalah anak-anak tetangga. Baker Street type of vibes. Gua dan kakak gua beruntung karena kita lahir pas anak-anak tetangga juga pada lahir sehingga kita punya temen seumuran untuk main dan tumbuh bareng. Kakak gua dan tetangga sebelah rumah gua seumuran. Di bawah mereka 1 tahun, ada gua dan 2 tetangga depan rumah gua. Bisa dibilang ini inti dari geng alias kelompok bermain kita pada masanya. Kalau mau ngitung secara umum di radius 3 RT dari rumah gua, ada 3-4 anak lain. Di bawah kita 1 tahun ada 1 anak yang seRT. Di bawahnya lagi 1-2 tahun ada beberapa anak juga. Belum lagi ada temen sekomplek yang juga sesekolah, ada 5 orang.

Oooh masa-masa masih pada bocah.

Keliling komplek pake sepeda, yap.

Nongkrong di pendopo / pos satpam dan mengklaim tempat tersebut, yap.

Main bola di jalanan conblock (konblok, entah gimana nulisnya) tanpa alas kaki, kesusupan kerikil, yap.

Main di tumpukan kayu tak bertuan dan nginjek paku berkarat, yap, sekali, untungnya gua gak kena Tetanus.

Musuhan dengan temen yang beda RT cuma karena mereka beda RT, yap. Biasanya sih "RT yang lebih kuat" ditentuin dari pemenang pertandingan bola.

Main bola dan berhenti karena adzan maghrib berkumandang, pastinya.

Main petak umpet tapi ngumpetnya di teras rumah orang, curang tapi efektif.

Main bola gebok pake bola kasti, terus jadi histeris karena bolanya masuk got, baju gua pernah hitam sekali.

Oh oh oh main bola, gawangnya pake sendal yang ditumpuk (burung walet = legendaris), bolanya masuk tapi nggak sah karena "tiang dalem", pernah bikin sakit hati.

Oooh masa-masa masih pada bocah.


Gua ras gua ngelakuin ini semua selama gua masih SD. Begitu masuk SMP, perintah dari bapak gua, Der Weise Vater, adalah "di rumah aja, belajar". Gua yang waktu itu masih sejatinya anak baik, ya nurut. Kalo gua pikir lagi, gua bisa aja cepet nyelesain PR, terus main keluar. Gua rasa gua bisa. Tapi nggak gua lakuin. Gua nurut banget ya waktu itu. Dengan demikian, berakhirlah masa-masa gua main di luar rumah. Kelompok bermainnya sih kayaknya masih lanjut karena ada 2 temen gua yang sesekolah di SMP dan SMA. Begitu semua lulus SMA, gua rasa baru bisa dibilang kalo kelompoknya resmi bubar.


Cuk, kalo gitu, bisa dibilang kalo di periode pertengahan 2007 sampe pertengahan 2013, gua nggak main di luar rumah. Setelah itu kan gua kuliah sambil bertualang di Surabaya, jadinya agak abu-abu untuk bilang "gua di luar rumah".

Cuk pantesan gua aneh dan suka mikir sendiri.


Yoho~

gua pengen ngomong tentang hp pertama gua sambil nunggu pancake matang x4

 Yo.


Gua lupa nulis kemaren! Kurang asem!

Hari ini gua bakal nulis 2 kayaknya.


Sekarang gua lagi bikin sarapan. Pancake udah di panci, belum dibalik.

Mari kita lihat apakah gua akan sarapan pancake gosong atau nggak.


Nostalgia! Hp pertama gua!

Hp pertama gua adalah Esia Kilau Warna. Kalo lu kelahiran 90an, lu tau hp ini.

Keistimewaan hp ini adalah fakta bahwa hp ini merupakan hp Esia pertama dengan layar berwarna.

----

Intermezzo : pancake gua akhirnya gosong :)

---

Hp ini adalah hp murah pertama yang layarnya berwarna. Gokil banget sih waktu itu. Untuk gua yang masih SMP, hp ini keren banget. Kalo gua masih SMP, berarti gua dibeliin hp ini sekitar 2007 atau 2008, mungkin 2009. 11 tahun kemudian, hp yang nggak pake layar berwarna udah nggak diiklanin lagi. Perkembangan teknologi~

Kalo gua inget lagi, hp ini adalah hp layar berwarna nomor 2 di hidup gua. Yang pertama itu hp Ericsson edisi Walkman(?). Gua nggak yakin edisinya, tapi itu hp Ericsson yang punya permainan tenis yang menurut gua masih game tenis terbaik untuk hp. Waktu itu, hp ini punya bapak gua.

Kalo hp pertama di hidup gua juga adalah hp pertama bapak gua, yaitu Nokia 3310. Lu tau kan? Nokia yang kekuatannya setara Mjolnir. Thor bisa jadi nggak layak untuk megang hp ini. Hp ini mengantar keluarga gua dari jaman telepon kabel ke awal jaman telepon seluler. Cuuuk jamannya internet masih maksimal 56 kbps. Perkembangan teknologi~ Setelah hp ini diwariskan ke ibu gua, La Signora Grande langsung bikin rekor poin tertinggi di permainan Snake. La Signora Grande mainnya di kecepatan 1, poinnya sampai 10.000 atau lebih. 5 digit pokoknya.


Soal perkembangan dunia pertelepon-genggaman, gua emang nggak aktif nyari yang baru.

Gua pegang hp Esia gua (hp 10 tombol) sampai 1 tahun setelah hp QWERTY muncul. Pas gua masuk SMA, gua masih pake hp 10 tombol itu. Begitu naik ke kelas 2, baru gua "dipaksa" untuk pake hp QWERTY. Suatu sore, bapak gua pulang bawa hp baru gua dan nyuruh gua untuk pake hp baru itu. Ta-da! Gua akhirnya ganti ke hp Nokia yang gua lupa serinya.

---

Intermezzo 2: pancake gua gosong tapi rasanya nggak pahit :) barusan gua selamatkan ke piring sajinya

---

Gua emang nggak pernah "niat" untuk punya teknologi komunikasi terbaru, kebalikan dari kakak gua yang rajin ngecek (dan akhirnya beli) teknologi terbaru.

Sepatu sekolah gua nggak pernah ada lampunya.

Headset, gua menolak pake selama 1-2 tahun sejak barangnya populer.

GoPro, emoh.

Hp layar sentuh, gua telat 1 tahun. Gua mesti ganti karena temen-temen gua di perkuliahan mau pake Line untuk jarkom angkatan. Sekarang gua pake hp layar sentuh kedua gua. 4 tahun kuliah S1, gua nggak pernah ganti #Hemat.

Wireless earbud, gua pertama kali beli dan pake 2 bulan yang lalu.

Wireless charger, rasanya masih terlalu maju untuk gua.

Jam tangan pintar, rasanya masih terlalu pintar untuk gua. Jam tangan biasa aja nggak pernah gua pake, walaupun udah dibeliin. Rasanya selalu berat di tangan gua.


Apa lagi sih wearable tech yang mestinya populer tapi gua belom pake?

Udah ah gua mau makan pancake gosong untuk memenuhi konsumsi karbon (harian? bulanan? tahunan? seumur hidup?).

Abis sarapan, gua akan nulis lagi. Atau mungkin nanti sore. Atau malem.


Yoho~

Sabtu, 28 November 2020

gua pengen ngomong tentang seiprit superhero origin story gua x3

 Yo.


Gua nulis ini sambil makan malem, jadi gua usahain cepet selesai tapi tetep lengkap bahasannya.


Gua tadi nonton review beberapa film sambil kerja. Jujur aja, kerja dari rumah membelokkan beberapa batasan moral jam kerja yang biasanya berdiri tegak kalo gua kerja di kantor. Salah satunya, Youtube-an sambil kerja. Normal sih, tapi kalo di kantor agak segan gitu kan.


Nah, gua jadi terinspirasi untuk nulis tentang kenapa gua jadi gua. Bahasa Sundanya, what makes me, me.


Kita bahas dari yang menurut gua adalah sifat gua yang paling menonjol: gua itu aneh.

Jujur aja, gua nggak yakin sejak kapan gua jadi aneh. Gua yakin banget kalo gua udah aneh sejak gua masih kecil. Beberapa hal yang nempel banget semenjak seseorang ngajarin gua, diantaranya: membuat cerita, permainan kata, membaca sesuatu yang tersirat, melihat bentuk-bentuk di formasi benda mati, dan main. Gua nulis main 2 kali, tapi yang kedua maksudnya memainkan permainan atau peralatan tertentu.

Soal ngeliat bentuk-bentuk, gua suka banget bengong ngeliatin awan atau api, misalnya. Bisa jadi ada yang mirip muka atau bagian tubuh manusia atau binatang. Oh iya, gua juga suka bengong, terutama pas lagi mikir. Seringnya sih, gua bengong bukan supaya gua konsentrasi ke mikir biar hasil pemikiran gua cepet berbentuk, tapi karena gua suka mikir dan apalah artinya berhenti melakukan yang gua suka. Kalo soal ini, rasanya gua sendiri yang bertanggungjawab. Tolong salahkan gua yang bodoh (dan seringnya keras kepala juga). Gua biasanya tersesat di hal-hal detail. Omongan orang yang salah walaupun maknanya tersampaikan, daun yang berlubang diantara daun-daun yang utuh yang ada di pohon, jejak kaki yang bikin sebagian ilalalng patah dan roboh, jejak kaki kucing di semen yang mengering, korelasi antara pemilihan kata dengan mood seseorang pas gua ngobrol dengan orang tersebut; gua suka banget mikirian yang receh, yang remeh, yang trivial. Yang dulu sering jadi korban adalah keluarga gua. Begitu ada omongannya yang salah, gua yang mengomentari, "Eeeh, kok gitu?" Biasanya sih langsung dibales dengan, "Iya, iya. Anak ini merhatiin aja sih." Skenario lain yang paling gua inget adalah pas gua diopname karena kena Demam Berdarah Dengue. Suatu hari, gua liat kalau di botol obat yang mestinya gua minum, ditulis nama yang bukan nama gua. Gua bilang ke ibu gua kalau "botolnya aneh" atau semacamnya, dan wajar kalo ibu gua mikirnya, "Ini anak kayaknya mabok karena anestesi." Gua inget kalau butuh beberapa kali sampe akhirnya ibu gua paham kalo maksud gua adalah nama di botol itu bukan nama gua, dan gua mempertanyakan apakah obat itu emang untuk gua atau bukan. Gua inget kalau setelah itu, ibu gua ngobrol ke dokter kalo gua sadar tentang label nama itu sehingga dokternya membuat komentar paling lucu sekaligus savage yang pernah gua denger, "wah, anaknya kritis, ya."

Lucu karena gua kritis untuk mengomentari label nama yang salah, yang harusnya bukan urusan gua sebagai pasien + fakta bahwa waktu itu gua lagi lemah di ICU (dalam kondisi kritis). Gua gatau dokternya emang niat untuk bikin double entendre ini atau nggak, tapi gua bersyukur karena gua menyaksikan komentar itu. 


Menurut gua, orang yang paling bisa disalahkan (atau mungkin, dipuji) karena gua jadi begini adalah ibu gua. Code nameLa Signora Grande. Gua rasa, minimal 80% nilai-nilai kehidupan yang gua hidupi saat ini, gua dapatkan langsung dari ibu gua atau gua dapatkan setelah merenungi masukan dari ibu gua.

Lu mungkin pernah ketemu ibu gua. Lu mungkin pernah makan bakso di rumah gua (bakso yang gua ceritain di postingan sebelumnya) sambil minum pake "gelas kaca yang berat". Semoga itu cukup untuk jadi gambaran gimana kepribadian gua jadi begini. Tapi rasanya gua lebih nunjukin sisi gua yang gua dapet dari bapak gua sih, yang lebih diem, terukur, berarah, dan serius.

Mungkin bisa gua ceritain di postingan lain. Yey untuk konten.


Kayaknya hari ini gini dulu deh. Udah jam 18h42, udah waktunya gua jadi bego dan lanjut makan malem (walaupun gua dapet 3 suap sambil nulis ini).


Yoho~

Kamis, 26 November 2020

gua pengen ngomongin makanan terenak sepanjang masa x2

 Yo.


Gua inget untuk nulis! Yey!

Gua baru selesai kerja (laptop kantor belum gua matiin sih) dan gua lagi mikir soal makan malem, jadinya gua rasa ini waktu yang cocok untuk ngomongin makanan. Tadinya gua mau ngomongin soal mainan / permainan / olahraga favorit gua dulu, tapi lain hari aja kayaknya.


Makanan!

Gua yakin kalo gua pernah nyebut kombinasi makanan ini, bisa jadi gua pernah unggah gambar makanan ini ke blog ini pas gua ngegambar terus selama 30 hari. Menu makanan favorit gua adalah nasi + ikan cuek goreng + tumis kangkung + sambel yang dibuat oleh ibu gua. Kalo gua bisa milih bahan-bahannya, gua mau nasinya yang nggak terlalu pulen, mungkin lebih ke perak (kalo lu mikir ada nasi silver, kita nggak cocok), ikan cueknya yang dikemas di keranjang kecil dari anyaman bambu (legendaris), dan sambelnya pake cabe merah kriting, cabe rawit, bawang merah, bawang putih, tomat (dan mungkin sedikit gula) yang ditumis sebentar dulu sebelum diulek. Very nice.

Lu mungkin berpikir, "Eh kampret, lu jelasin panjang2 sampe gua gamau baca, terus begitu gua baca ternyata itu bukan 1 makanan, tapi kombinasi beberapa masakan. Mau lu apa sih !?" Gua mau kangkung karena ga ada di sekitar tempat gua tinggal sekarang. Itu yang gua mau.

Kalau lu merasa penjelasan gua sebelumnya itu bukan tentang "1 makanan", mungkin lu punya poin yang layak untuk didiskusikan. Gua punya 1 opsi lain yang juga kandidat kuat sebagai makanan favorit gua. Gimana kalo bakso buatan ibu gua? Bakso dari tukang sayur andalan ibu gua, rempah-rempah pilihan, tulang sapi pilihan, caisim + bihun + sambel untuk pelengkap, nasi untuk mengenyangkan.

Cuk gua hampir ngiler ngomongin ini.

Mungkin lu berpikir lagi, "Kayaknya lu cuma lagi pengen makanan itu aja deh!" Gua setuju kalo gua selalu pengen makan masakan yang gua sebutkan di atas, tapi dengan rahmat Tuhan, gua lagi kerja di negeri orang yang secara tradisional nggak menyajikan bahan-bahan masakan yang gua inginkan, sehingga gua cuma bisa ngiler kalo menyinggung makanan di atas. Kurang asem sih, tapi ya apa boleh buat.


Gua pernah nyoba buat semacam "bakso tak sampai" sih. Gua pake sosis yang dibentuk bulat karena di supermarket terdekat nggak ada bakso. Gua berusaha pake daging sapi bertulang untuk bikin kuahnya, dan hasilnya super menarik. Gua pake bihun yang nggak licin, karena adanya itu dan jadi kejutan menyenangkan karena gua emang sukanya yang gitu.

Kesimpulan 1: Kombinasi daging sapi bertulang yang tepat dan kadar garam yang tepat adalah kunci untuk kuah yang nggak cuma layak dimakan, tapi juga membanggakan dan memuaskan hati.

Kesimpulan 2: Sosis yang dibulatkan tidak sama dengan bakso, minimal dalam hal kepuasan saat dimakan.

Mungkin kalo gua ada eksperimen makanan lagi, bakal gua tulis resepnya disini. Gua udah pernah nulis beberapa Microwave Cooking (atau entah apa judulnya, gua udah lupa) sih, tapi setelah gua pindah apartemen dan punya dapur kecil, gua belom pernah nulis resep lagi. Yey konten!


Gua udah gatau mau nulis apa lagi, jadi rasanya ini saatnya gua menyudahi postingan ini. Dari sekian banyaknya obrolan tentang makanan, bahan masakan, harga makanan, tempat makan, dkk, gua paling inget sama omongan salah satu guru gua pas SMA. Omongan beliau masih gua pegang sampe saat ini. Waktu itu, guru ini bilang sesuatu yang gua pahami sebagai "soal makanan, makan yang enak terus aja, nggak peduli apakah itu makanan sehat atau nggak karena kamu bisa sehat kalau kamu makan dengan bahagia." Mungkin lu pikir gua salah denger karena omongan macam apa itu barusan. Mungkin lu benar. Mungkin gua salah denger dan udah kebanyakan muter-muterin omongan itu di kepala gua sampe gua inget maknanya doang walaupun mungkin makna itu salah. Mungkin tulisan gua hari ini nggak ada esensinya sama sekali. Tapi inilah prinsip gua saat milih makanan: Yang enak dulu, baru yang sehat.

Bukan berarti gua nggak mau makan secara sehat, tapi gua mau makan makanan sehat yang enak. Apalah artinya jus sayur kalau lu bisa tumis itu sayur. Apalah artinya tablet vitamin C kalau lu bisa makan jeruk mandarin. Apalah artinya makan, kalau nggak ada kamu disampingku. Otak gua udah menyimpang, jadinya gua pamit dulu untuk hari ini.


Yoho~

gua lagi pengen nulis agak rutin nih, tapi pengen ngomong tentang kekerasan antar saudara juga x1

 Yo.


Gua lagi nggak ada puisi dan gua mau nulis sesuatu yang lain.

Berhubung beberapa hari belakangan ini banyak kejadian yang wow alias mengubah hidup gua, menurut gua nggak ada salahnya kalo blog ini juga mengalami perubahan. Gua pikir, menarik juga kalo gua bikin sesuatu yang terstruktur lagi. Sebelumnya kan gua pernah nulis rutin selama sebulan dan gambar rutin selama sebulan. Nah, gimana kalo gua bernostalgia selama periode tertentu? Mungkin sebulan? Mungkin seminggu? Mungkin satu trimester? Gua juga belum yakin apakah gua akan nulis setiap hari? Setiap 2 hari? Setiap minggu?

Nyeh, gua coba deh nulis tiap hari selama sebulan. Kalo gua lupa 1 hari, peraturannya bakal gua ubah. Kuncinya adalah adaptasi ke situasi di depan mata hohoho.

Otak: Kancut lu.

Gua: OK


Untuk memulai, gua kepikiran mau nulis ini pas tadi gua ke toilet.

Nostalgia hari ini adalah tentang kekerasan. Ekstrem juga ya. Buat yang baru pertama kali mampir ke blog ini, gua gak selalu bahas yang kayak gini, kok. Kalo menurut lu ini aneh, nah itu derita lu. Blog ini emang selalu aneh.


Kembali ke masa lalu.

Sedikit pembuka: Kalo lu kenal gua di SMA atau seterusnya, mungkin gua terlihat sebagai orang yang cinta damai, jauh dari konfrontasi, dan menghindari kekerasan.

Semoga gitu, sih.

Pada masanya, gua dekat dengan kekerasan. Shoutout untuk yang punya saudara dan tinggal serumah. Seperti yang mungkin lu pernah denger atau pernah alamin sendiri, persaudaraan tidak jauh dari kekerasan. Rebutan remote TV, rebutan controller PlayStation, rebutan mainan, banyak hal bisa jadi alasan untuk berantem dengan saudara di rumah. Alasan favorit gua: dendam karena kalah di berantem sebelumnya.

Ohohoho, dulu gua pendendam sejati. Sebagai bonus, gua kasih cerita legendaris ini. Kita keluar dari topik utama sebentar.

---

Waktu itu gua masih usia TK, mungkin awal-awal SD. Keluarga gua lagi main ke rumah kakek gua di Jakarta. Pas lagi bincang-bincang, gua diledek sama salah satu tante gua. Klasik, ngegodain anak kecil karena melakukan hal bodoh adalah sesuatu yang mudah dilakukan dan bisa jadi mendidik dan bisa jadi menghibur. Hari berlanjut. Kita ngumpul di ruang tengah, lagi ngobrol juga. Semua orang ngomong, ketawa, ngomong, ketiwi. Di tengah obrolan, gua yang tadinya duduk, bangun dan jalan ke arah tante gua yang tadi ngeledek gua. Geplak! Gua nampar tante gua, tanpa ngomong apa-apa, tanpa basa-basi, tanpa hujan dan angin. Gua dimarahin, kita sadar kalo gua masih kesel karena sebelumnya gua diledek, dan kehidupan berlanjut.

---

Sedikit intermezzo sekaligus pelajaran sejarah ditengah pelajaran sejarah. Yang bisa gua bilang sekarang adalah gua sudah mencoba untuk jadi lebih baik. Sayangnya ini bukan tulisan motivasi, tapi nostalgia. Kembali ke masa lalu!

Kekerasan!

Salah satu memori yang paling berkesan, bisa dibilang kenangan kekerasan nomor 2 gua di rumah tapi nomor 1 soal dendam, adalah yang satu ini. Kalo lu pernah nonton Ender's Game, lu pernah denger omongan ini. Waktu itu, pastinya, gua menyimpan dendam ke kakak gua, satu-satunya saudara gua, karena satu dari sekian alasan yang gua tulis di atas. Waktu itu juga, salah satu kesukaan keluarga gua adalah nonton TV sambil tiduran sambil dimarahin ibu gua karena nonton sambil tiduran itu nggak baik. Singkat cerita, sore itu kakak gua lagi di depan TV dan (lagi-lagi) tanpa basa-basi, gua tendang kepala kakak gua. Dia nangis karena kesakitan, ibu gua yang lagi setrika pakaian jadi terpanggil karena ada suara kencang, bapak gua masih kerja di kantor, dan gua pasang pose staredown ala atlet NBA pasca posterizing. Dinamika kehidupan~

Yang bisa gua inget adalah waktu itu gua merasa puas karena akhirnya dendam gua terbalas. Gua nggak mikir soal trauma fisik yang mungkin kakak gua dapat dan fakta bahwa gua pasti bakal dimarahin segera setelahnya. Sejak dulu, gua emang kurang mikir soal dampak jangka panjang dan gua masih mikir kalo konsistensi adalah kunci kehidupan.

Kalau ada hal positif yang bisa gua bagi ke lu yang mungkin masih ada di posisi ini adalah bahwa memperbaiki hubungan dengan saudara itu penting. Selama bertahun-tahun setelah itu, gua masih berantem sama kakak gua karena berbagai hal, tapi disitu kita saling memupuk pemahaman, rasa hormat, rasa persaudaraan, rasa pertemanan, rasa kebersamaan, dan rasa kebanggaan akan satu sama lain. Sekarang, gua akan bilang kalau gua nggak super deket sama kakak gua, tapi kita punya pemahaman yang cukup akan satu sama lain untuk saling mendukung, saling menghibur, dan saling bersaudara di tengah rumitnya kehidupan dan batasan geografis.


Akhir kata, semoga lu nggak berantem dengan frekuensi dan intensitas yang sama seperti yang gua dulu lakukan dengan kakak gua. Kalo udah kejadian, semoga hubungan lu bisa membaik dengan lawan perkelahian lu. Kalo nggak kesampean dan udah terlalu basah, semoga beruntung dan semoga lu mau berbagi dengan gua.

Kalo ada yang mau berbagi cerita di bawah, boleh juga tuh. Di antara beberapa komentar yang gua dapet, ada aja yang dihapus sama pembuatnya. Kalo lu ngiklan di bawah, gua yang hapus komentar lu.


Yoho~

Minggu, 22 November 2020

gua malem mingguan tapi sendirian karena katanya konsistensi adalah kunci

 Yo.


malam minggu

jalanan berisik, malam pinggu

hati terusik tapi tidak ada yang mengganggu

jadi ragu tanpa pasta, jadinya lagu


ketepang ketepung, air, sagu

asupan sederhana tapi tak belagu

pelagu, tiap hari kerjanya bernyanyi

tidak cari masalah, cari uppercut ke dagu


dua tambah dua = satu

matematika masuk pala batu

raja ratu

as kartu

dua pasangan untuk juara satu

masuk akal tuh

lebay lu

karena begitu boring hidupku


tak pernah bertemu my ex

kutanya why? sampai malam sampai 3z's

shoutout irene van der rest, you're the best

weird form with bars, but this is how I flex

gorengan masih di kresek

tapi isi kulkas pakai kartu digesek

kerja jujur, hidung pesek

jaga kondisi jadi tidak perlu bed rest


malam minggu

jalanan berisik, malam pinggu

hati terusik tapi tidak ada yang mengganggu

jadi ragu tanpa pasta, jadinya lagu


Yoho~

Jumat, 20 November 2020

gua dapet berita duka lagi

Gua niatnya pengen bikin sesuatu yang bukan kayak gini, tapi gua lagi gak bisa mikir karena sekarang lagi jam istirahat siang tapi udah mau selesai, hari ini hari kerja (pastinya), dan belum ada pemicu yang tepat.

Asem juga ya dapet 2 berita duka dalam 10 hari.

Minggu, 15 November 2020

gua pengen makan siang tapi baru jam 9h39 nih

 Yo.


Started from the dog named Blue

Been reading between the lines for the clues in the news

It's just in, breaking noose

Been thinking about who messes with who between stupid love with you

I was invisible, boo

Different lambda and mu

Freaking sick, achoo

Gotta catch 'em all, too

Now I'm far away, true

Doing good, never shoo'd

No holiday, no Jrue


Yoho~

gua pengen tidur karena subuh mau nyuci tapi pengen nulis juga

 Yo.


malam ini 'ku sendiri, tak ada yang menemani

seperti malam yang sadio, diakhiri dengan "mane?"

tangan yang kiri menulis sehari, malamnya sudah lelah

bukan bawahan, tapi yang kanan mau dipakai, salah


Cak mending gua main PES sampe ngantuk.

Yoho~

Rabu, 11 November 2020

gua dapet berita duka nih ceritanya

 Yo.


hari peringatan gencatan senjata

aku bangun jam 10 tak apa

libur dengan hati sukacita

oasis di tengah minggu kerja


terbuka dan berbunyi

aku lihat notifikasi

nyala hijau berinformasi

terlihat dan aku sunyi

edukasi yang tanpa tapi


ada satu yang lain

gendut/kurus tak peduli

nanti bertemu dengan putihnya kain

edisi yang tak kembali

satu bibi telah berpulang

/

ada yang belum dikabari

nanti bisa perburuk kondisi

yang kutahu dengan pasti

emosi tak bisa ditutupi

satu bibi telah bertemu dengan papi dan berdua lindungi mami


Yoho~

Selasa, 10 November 2020

gua baru inget kalo hari ini Hari Pahlawan pas liat instagram nih ceritanya

 Yo.


Pulau di tengah lautan

Telur di dalam bungkus, telur dibalutan

Alunan gitar di ayunan dari gitarnya Balawan

Aku salah baca, kawan


Bukan di Filipina

Kebanyakan nanas dan rum, terlalu banyak Pina Colada

Putih kalau mau bikin cacio e pepe itu butuhnya yang hitam

Naik pitam

Pala panas disiram

Hitam manis menyeruput kopi memakai timtam


Tepung, sayur, digoreng, bakwan

Tuang minuman ke dalam cawan

Bukan puisi sastrawan

Ini bukan tuk Hari Palawan

Selamat Hari Pahlawan


Yoho~

Jumat, 06 November 2020

gua lagi mikir apakah bahasa jepangnya hitam itu asalnya dari burung gagak

 Yo.


terbang tinggi bagai elang

tapi memang lebih mudah untuk tebang mimpi lalu hilang

tendang mimpi seperti tsubasa

salto, voli seperti mikasa


terbang tinggi bagai elang

cuma mimpi, bangun hilang

burung hitam yang tidak tampak

akunya kuy, kamu gak gak

aku santuy, kamu galak

aku santun, kamu gaplak

satu-satu kamu campakkan

bukan elang, kamu gagak


pergi sekolah biar pintar

sekolah tutup, ambil gitar

janji idola, kamu hinggap

pintu ditutup, kamu minggat

sampai langit jadi jingga

gambar tak dilukis, tidak akan indah

diam tanpa gaya, tidak akan pindah

sukses tak diundang, tidak akan singgah

bukan elang, kamu gagak


Yoho~