Senin, 30 November 2020

gua pengen ngomong tentang kekerasan di rumah gua x6

 Yo.


Selesai kerja, kembali ke blog.

Terus makan, main, menonton anime, dan mengistirahatkan badan.


Kali ini gua mau cerita tentang bagaimana orangtua gua menghukum gua waktu gua masih di jaman jahiliyah.

Keterangan: Gua tau judul postingannya demikian, tapi di rumah gua nggak ada jenis kekerasan lain, seinget gua (pujilah Tuhan hai jiwaku).


Yang paling klasik, dibentak. Gua rasa ini bentuk yang paling efisien dan bisa berdikari maupun jadi pembuka untuk bentuk hukuman lainnya. Minimal, bentakan bisa jadi suatu pengumuman ke orang yang berbuat salah kalo hukuman akan datang. Pada jamannya, sebagai anak yang sangat penasaran dengan hal-hal baru, gua sangat suka menggunakan kata-kata kasar yang baru gua pelajari, terutama dari temen-temen gua. Bapak gua dulu sering sih pake kata-kata kasar kalau lagi nyetir dan ada orang yang nyalip tanpa peringatan, tapi ibu gua menyeimbangkan dengan balasan yang menetralisir suasana sehingga anak-anaknya sadar kalau omongan itu nggak baik. Shoutout untuk La Signora Grande (mlg_air_horn.mp3). Untuk gua dan kakak gua (lebih sering gua karena gua lebih tolol, pada masanya), kalau La Signora Grande denger kita ngomong kata-kata kasar, maka hal yang pertama keluar adalah bentakan. Ngeri banget, dan pastinya ngurangin umur La Signora Grande. Untungnya seiring perkembangan jaman, gua dan kakak gua udah nggak tolol lagi dan semua anggota keluarga bisa hidup (lebih) damai.


Naik 1 level, ada "cabe rawit ke mulut". Ini biasanya adalah kelanjutan dari situasi di atas. Setelah dibentak, cabe rawit datang. Kalo gua pikir lagi, ini hukuman yang logis banget. Mulut berkata kotor, mulut dihukum. Untuk gua dan kakak gua, ini efektif banget. Kalau 1 anak lagi kena cabe, 1 anak yang lain akan ikutan takut dan diam. Kita nggak malah ngetawain anak yang dihukum. Apakah ini petunjuk kalau gua dan kakak gua itu bro abis? Gua rasa nggak. Yang nggak dihukum cuma jadi sadar kalau mulutnya juga kotor dan jadi diam karena takut ketahuan dan dihukum juga.


Naik 1 level lagi, gua rasa tingkatan ini cocok untuk sabetan ikat pinggang. Kalo lu merasa ini seharusnya nggak dilakukan, maka gua rasa lu salah. Menurut gua, kalo gua nggak pernah disabet, gua akan jadi kurang ajar sampai sepanjang masa (atau sampai akhirnya gua disabet). Sabetan ini muncul ketika gua dan kakak gua menciptakan masalah (berantem, ngomong kasar-dicabein-masih ngelawan, ngelawan ibu gua, dsb) yang berlanjut sampai bapak gua pulang kerja. Waktu itu, bapak gua sampai di rumah sekitar maghrib (sekitar tayangan adzan maghrib di TV). Kalau pas bapak gua turun mobil, anak-anaknya masih bermasalah, bersiaplah! Makan malem gua atau kakak gua akan penuh kesakitan hohoho.

Hukuman ini super efektif, surefire, 必殺 (romaji: hissatsu).

Apa!? Siapa yang bandel!? *ikat pinggang dilepas* Sabetan ke paha! CETARR! UWAOOO! (It's super effective!)

Yang gua suka (mungkin bukan pilihan kata yang terbaik) dari hukuman ini adalah sistem mitigasinya. Karena intensitasnya, darah bapak gua nggak tinggi lagi. Kemudian ibu gua akan 'merawat' anak yang dihukum. Iya sih, situasi rumah bakal super awkward; makan malem jadi sunyi, tontonan TV jadi nggak menarik, nggak ada tawa-tawa di malam hari sebelum tidur. Tapi ya, namanya bocah-bocah masih belajar, aksi = -reaksi. 


Gua rasa itu sih hukuman yang paling wadidaw yang pernah ada di keluarga gua.

Tapi ada 1 'hukuman' -pake tanda kutip karena hukumannya sempet dimulai, tapi nggak diselesaikan- yang kalau nggak diberhentiin, bakal jadi hukuman paling berat di keluarga gua.

Ibu gua pernah nyaris diusir dari rumah oleh bapak gua, dan lu udah bisa nebak penyebabnya, karena gua.

Waktu itu, gua lagi main dan gua jatuhin vas bunga ibu gua. Vas bunganya dari kaca, lumayan tebal sehingga nggak pecah. Bunga yang dipasang juga terbuat dari kaca, dan karena tangkainya panjang (toris = gaya x lengan), beberapa tangkai bunganya patah. Hiasan ini adalah hiasan favorit ibu gua waktu itu, sehingga wajar kalo ibu gua jadi marah ke gua dan ngambek. Gua dimarahin. Maghrib tiba, bapak gua sampai di rumah. Ibu gua jadinya ngambek ke bapak gua. Gua nggak terlalu inget detailnya karena gua dengan sengaja berusaha melupakan kejadian kelam ini, tapi yang pasti waktu itu bapak gua jadi marah ke ibu gua, kalau nggak salah karena nyalahin gua terus. Akhirnya, bapak gua nggak marahin gua tapi marahin ibu gua karena ngoceh terus tentang hiasannya yang sekarang jadi rusak (atau semacamnya). Terus, ancaman pengusiran itu pun keluar, sampai akhirnya bapak gua ngebentak ibu gua dan nyuruh ibu gua untuk ngerapiin 1 koper untuk diisi pakaian karena nggak boleh tinggal di rumah kita lagi.

Cuk, mata gua berair karena nginget cerita ini. Kembali lagi, puji Tuhan karena setelah itu, nggak pernah ada lagi kejadian yang kayak gini di keluarga gua. Der Weise Vater, La Signora Grande, kakak gua, dan gua sampai sekarang masih hidup dengan damai dan tentram, mungkin ada sedikit bumbu-bumbu yang menggigit tapi nggak sampe bikin sakit hati yang mendalam dan berbekas.


Cerita hari ini nggak ada hikmahnya (kayaknya). Kalaupun ada, gua ingin bilang, sebagai anak, kalo menyayangi orangtua itu penting. Cara yang gua rekomendasikan adalah dengan menghidupi hidup yang sukses (relatif), bahagia, dan bebas sambil minimal menghargai, maksimal menaati, perintah dan saran dari orangtua. Itulah yang gua lakukan sampai saat ini.

Q: Gimana maksudnya 'menghargai perintah dan saran dari orangtua' tapi nggak 'menaati'?

A: Ibu gua sempet keukeuh maksa gua untuk masuk ke kuliah kedokteran, bahkan sampe semester 3 kuliah sarjana gua. Waktu itu, gua buktikan kalau gua nggak mau masuk kedokteran dengan nilai bagus dan keteguhan untuk betah di Surabaya.


Gitu dulu aja deh cuplikan masa lalu gua untuk hari ini.


Yoho~

Tidak ada komentar :

Posting Komentar