Kamis, 31 Desember 2020

pantun yang memulai segalanya

 Yo.


pohon manggis di tepi rawa

tempat kakek tidur beradu

nenek menangis sambil tertawa

melihat kakek bermain gundu


(disampingnya ada ilustrasi seorang nenek lagi ketawa sampe nangis dan seorang kakek dengan sarung dan tanktop lagi jongkok, main gundu)

Gokil.


Yoho~

Parutan Gurau Palapa

Yo.

"kabar baik?"-ku tidak spesial, tak diingat, hipomnesia
ngeri 'tuk tengok ke nona yang elok yang ku cinta
t'lah bersumpah walau darah tumpah, romansa tak lebih penting dari familia
tak masalah ku muram durja sepanjang masa

tapi tanah tak punya, air 2 hari tak ada, maklum
ongkos tinggal di lautan kelapa yang tidak umum
hotel melati selalu jadi pilihan yang utama
sebagai anak bangsa yang bangsat sejak dulu kala

melambai-lambai, bagai inflatable tube man atau penari ala Hawaii, dinyinyirin di pantai
yang lain dibisikin, bagai melihat orang asing atau pengelana
kakuja, ku mau, kekuatan tersemai
tanah, air, puisi untukku bisa tercapai karena diglosia

Yoho~

Selasa, 29 Desember 2020

Lemon Madeleine

Yo.


when life gives you lemons then you make some lemon madeleines

so when life gives you demons, you can redeem yourself again and again

without ever going to a gambling den

sure, you can visit it every now and then

what is life but a start, a fart, pop tarts and darts, and you decay in the end


even the good man parted from the pen

I once had just a paper and pen, put the sketches on the wall with a pin

wrestled with the restless sketchy old pal until I'm big like the ben

and got enough for the park or going to the web, forgetting how much I'm giving in

rice cooked, flight booked, guys shook, yet I took the straight line like the rook, I choose staying in


Yoho~

Senin, 28 Desember 2020

Caramel Candy

Yo.


but the blood in my body strangely tastes like that caramel candy

sadly, I get happy rarely

people say it's only that I'm lonely

sad song gets me on my feet, I keep it handy


ever since I was lifted up by daddy and got a plate full of paddy

I stepped on the field gladly and proudly

never got a taste of the lobster, Larry

never ever near of the mobsters like Tommy, Angelo

stay put, stay silent, and stay low

firm footing, firm slaps with the palm, though

good with the Lego, no Play-Doh or Hasbro

lucky enough to see Legolas, Aragorn, Gandalf, and Frodo, the hobbit

got schooled to learn the right from the wrong things

got to school, I couldn't just jumped, skipped, and hopped it

weak as fool, good old boxing still gives me a strong ring

like grandpa used to from time to time

and grandma with the special soup, no thyme

some cloves, some mace, no lime

old bowls, old steaks, no prime

but it was optimus

blurred memories even if I wear opticals

looked bare good while I jumped over any obstacles

came back home to find my mama in her zone, stewed squid with tentacles and the ink, too

delicious and that will do

delirious and I stink, poo 'cause I only do-do

I seldom think-think even about you-you

Hakusho

creativity was poured naturally on the A4

adventures like Stallone versus the enemies, like Rambo

that ended with calm after the storm, a big ol' rainbow

may the weather filled with joy like the Floyd

full of happiness, craziness, no void

a sweet glass of OJ, yays, wows, and no nays

at the end, bestow the know-how and the Scott's oil of cod


but the blood in my body strangely tastes like that caramel candy

sadly, I get happy rarely

people say it's only that I'm lonely

sad song gets me on my feet, I keep it handy


Yoho~

Sabtu, 26 Desember 2020

tulisan ini nggak ada faedahnya

 Yo.


Gua bilang kalo gua akan nulis cerita nostalgia dalam format rata-rata 1 cerita per hari.

Gua bilang kalo gua mungkin nulis selama 30 atau 31 hari.

Kemaren Hari Raya Natal, makanya gua pikir itu alasan yang cukup untuk rehat nulis.


Gua cuma cari alasan kenapa gua nggak nulis aja, dan itulah tawaran terbaik gua.

Mungkin kalo nanti gua ada cerita lagi, gua bakal nulis lagi, tapi gua gak janji bakal sekali sehari.

Gua masih cari alasan dan justifikasi untuk fakta bahwa kemaren gua nggak nulis dan sekarang gua masih ga ada ide cerita untuk ditulis.


Yoho~

Jumat, 25 Desember 2020

gua pengen cerita tentang gimana blog ini bisa lahir x30

 Yo.


Malem Natal nih. Selamat Natal bagi yang merayakan dan yang menikmati liburannya!

Berhubung Natal itu serba tentang kelahiran dan nama gua memiliki arti yang sama, gua mau cerita tentang bagaimana blog ini lahir.

Gua sempet nulis tentang esensi blog ini di postingan sebelumnya, yang ngegambarin tentang apa isi dari blog ini; apa sari pati blog ini. Kebetulan waktu itu gua lagi antara males nulis atau lagi kehabisan ide, jadinya gua nggak nulis panjang lebar.

Kali ini, gua tetep nggak jelasin panjang lebar tentang ADN blog ini tapi gua akan jelasin kenapa blog ini bisa muncul ke permukaan; siapa bapaknya dan siapa ibunya.


Kalo lu perhatiin hal-hal yang gua tulis disini, lu mungkin ngerasa kalo gua bukan penulis terbaik, dari sisi tema dan teknik penulisan. Pembukanya jelek, nggak ada suspense, dan nggak ada twist yang pintar. Nyeh, sejak pertama kali gua bisa cerita, itulah yang gua lakukan: menceritakan dengan buruk hal-hal yang terjadi di keseharian dan/atau imajinasi gua. Kemampuan ini berguna sih pas gua nulis tugas laporan di sekolah, tapi blog ini bukan tugas sekolah.

Sebelum blog ini lahir, gua sebelumnya cuma bisa alay di Facebook. Sebelumnya lagi, hidup gua masih penuh kekerasan, perkelahian, main di luar rumah, dan kata-kata kasar (pra SMP). Setelah itu, gua dapet titah dari orangtua untuk jadi anak rumahan. Gua jadi kekurangan cara untuk mengekspresikan diri. Pada masanya, gua main beberapa game di Facebook. Ada game semacem bikin band gitu dan tentang superhero gitu yang gua mainin pas SMP. Selain itu, khususnya setelah gua masuk SMA, gua jadi suka bikin meme. Gua ambil foto gua via webcam laptop dan gua kasih caption di bagian atas dan bawahnya, terus gua unggah ke Facebook. Cuk kalo gua liat balik, waktu itu gua alay dengan cara gua. Gua sempet refleksi kayak gini sebelumnya dan mikir tentang ngapus akun Facebook gua, tapi sampai sekarang masih ada walaupun udah gak gua urus lagi. Di masa-masa alay inilah, gua mengenal dunia blog, khususnya WordPress dan Blogger. Gua kenal dengan Blogger duluan dan gua setia dengan GMail (ketika Rocketmail, MSN, dan Outlook jadi pilihan yang lebih edgy untuk remaja saat itu), makanya blog ini lahir disini. Akhirnya, gua bisa alay di tempat yang nggak bisa (secara teknis, bisa, tapi karena ketidaktahuan) diliat oleh keluarga gua. Gua jadi punya tempat main pribadi. Mungkin ngebagi alamat blog gua ke 2 temen sekelas gua yang juga nge-blog waktu itu (kelas 1 SMA) bukan langkah yang tepat untuk menjaga privasi blog ini, tapi apa yang terjadi, terjadilah. Toh nyatanya jarang ada orang yang baca blog ini juga. Sialnya, gua jadi selalu mikir kalo mau nulis cerita yang butuh tokoh-tokoh tertentu (misalnya "seseorang") karena ada sedikit ketakutan kalo namanya gua tulis, maka gua menciptakan kondisi dimana bisa ada desas-desus atau gosip-gosip di sekolah. Waktu itu gua belum sanggup menanggung konsekuensinya dan beberapa temen gua telanjur tau keberadaan blog ini, jadinya gua tulis apa yang gua tulis.

Selain cerita sehari-hari, gua kadang-kadang nulis puisi berkedok rap. Pas gua SD, gua nggak suka puisi sama sekali, kecuali pantun. Gua masih inget hari dimana gua baca puisi prosa di depan kelas (pas kelas 5) dan gua gemeteran selama gua baca. Ngeri. Gua pilih konsisten dalam hal nulis pantun aja. Rap ngegabungin pantun dan permainan kata, jadinya gua nyemplung ke situ. Gua pernah nulis isi pemikiran gua dengan format "Side Story". Gua berhenti nulis karena gua lagi kehabisan ide dan begitu idenya muncul, gua lagi kepikiran tentang political correctness dan gimana caranya nggak menyinggung orang sama sekali. Gua sadar sih kalo kualitas ekspresi gua di blog ini menurun, tapi mungkin gua secara nggak sadar menghindari potensi gua untuk viral dan di-cancel. Secara umum, karena gua jarang mikir pas nulis, gua nggak terlalu terganggu sih. Kalo lu ngikutin blog ini sejak lama dan lu mau gua ngebangkitin lagi beberapa konten yang udah nggak gua bikin lagi, monggo bikin komentar di bawah postingan ini atau hubungi gua via japri. Dulu gua pernah sih nulis nomor hp gua disini dengan harapan ada yang SMS atau telpon gua (nggak pernah ada yang ngehubungin gua karena blog ini) dan itu adalah keputusan yang super geblek.

Soal nama blog ini, lu mungkin udah tau cuplikan-cuplikan ceritanya. Waktu gua masuk SMA, gua diberi nama "portoportule" (yang waktu itu gua tulis sebagai Porto Portule) oleh seorang senior #BONI dan waktu itu gua masih punya sedikit semangat untuk menghidupkan kembali hari-hari gua sebagai komikus. Ta-da! Jadilah "portoportulecomics".

Soal judul blog, gua udah lupa sih inspirasinya dari mana, tapi gua (sampai sekarang masih) terinspirasi banget kalo baca judul yang berbentuk kalimat itu. Soal bentuknya yang kalimat, lu bisa salahin mindset gua yang merasa "harus beda". Njir gua masih lupa gua dapet kalimat itu dari mana. Di awal tahun ini, gua tambah description kecil di bawahnya. Gua rasa kalimat itu bisa jadi permohonan maaf untuk orang yang dengan nggak sengaja nemu blog ini dan merasa sakit kepala begitu mulai ngebaca isinya.

Soal desain, awalnya blog ini belum berbentuk seperti sekarang. Secara umum, bisa dibilang sama sih, seenggaknya secara fungsional. Di bagian atas ada header/banner. Di bawahnya ada konten utamanya. Di bagian kanan dan bawah, pemanis. Awalnya (semoga bukan gua doang) gua keranjingan nyari widget yang "keren". Tadinya gua pasang widget jam, sempet ada akuarium ikan koi juga, dan gua pernah pasang jumlah pengunjung juga pas gua masih pengen nunjukin jumlah pengunjung harian. Gua milih dan akhirnya ngejaga formasi yang sekarang setelah gua masuk kuliahan, kalo nggak salah, di semester 1 atau 2. Akhirnya, gua putusin untuk pasang hasil gambaran tangan gua sebagai header mulai dari tahun kedua atau ketiga kuliah gua. "Kutipan ala PUEBI" adalah tambahan yang lumayan baru. Kalo nggak salah, gua buat pas gua mulai kuliah S2. Di awal tahun kedua gua S2, gua tambah bagian yang promosiin akun YouTube (awalnya isinya tautan ke video perkenalan universitas gua, sekarang jadi akun pribadi gua). Ta-da!


Gitu deh.

Bapak dari blog ini adalah gua dan ibu dari blog ini juga adalah gua.

Sorry, but it is just me.

Yoho~

Kamis, 24 Desember 2020

gua pengen cerita tentang kegagalan gua di penyisihan olimpiade matematika x29

 Yo.


Gua pernah sih ceritain ini, tapi gua mau nyeritain lagi.

Gua emang lagi kehabisan ide karena udah semangat liburan. Liburan gua isinya banyakan bengong doang sih, tapi kalo lu gua, lu tau kalo bengong itu perlu tenaga dan keyakinan kuat.


NOSTALGIA!

Sejak masuk SMA, gua dikenalkan ke dunia yang namanya "olimpiade mata pelajaran". Sejak kenal, gua udah yakin kalo dunia itu bukan untuk gua. Alasan utama adalah gua sangat sangat tidak kompetitif. Mungkin lu akan bilang, "Tapi lu kan pernah ikut lomba scrabble kategori ganda tingkat kota(?) dan dapet juara 3?" Bener, gua pernah begitu, tapi gua ikut karena "disuruh" ketua English Club waktu itu (gua emang anggota ekskulnya) dan gua lagi keranjingan main scrabble. Kalo lu perhatikan kalimat barusan, lu juga tau kalo gua nggak punya inisiatif. Menawarkan diri bukanlah sesuatu yang natural untuk gua, dan gua masih sangat pasif waktu itu.

Seiring kehidupan berjalan, gua jadi tau sebaran dan beberapa identitas anak-anak yang "langganan" olimpiade mata pelajaran. Setau gua sih, waktu itu nggak ada yang gua kenal banget. Nah, kalo nggak salah, waktu gua lagi dirawat karena DBD, ada semacam seleksi/pertemuan awal untuk anak-anak yang kira-kira bisa jadi perwakilan sekolah gua untuk olimpiade tersebut, khususnya mata pelajaran Matematika. Cuma Matematika yang penting, karena gua akhirnya ngikut babak penyisihannya.

Sebutlah 1 minggu setelah gua balik ke sekolah. Gua bisa dibilang udah hampir fit seperti sebelum diopname. Sebagai anak yang waktu itu udah terlatih untuk hidup dengan mengeluarkan sedikit energi kecuali terpaksa, mungkin gua nggak keliatan kalo belum sepenuhnya bugar. Hari itu, sore sepulang sekolah, gua dapet SMS dari seseorang (bukan "seseorang") yang ngaku sebagai salah satu siswi yang dipilih(?) untuk ikut olimpiade Matematika.

"Renato, bisa gantiin gua nggak?" Tanya dia. Mungkin kata-katanya bukan gitu sih.

Gua nggak punya alasan untuk nolak, jadinya gua iyain aja. Nggak mungkin kan gua bilang, "Maaf nih, gua nggak bisa ikut karena nggak akan niat ikut lombanya karena gua nggak kompetitif."

Gua nggak nanya lebih lanjut sih kenapa dia nggak bisa ikut olimpiadenya, tapi seinget gua dia nggak nulis alasan jelas kenapa dia nggak bisa ikut. Mungkin seharusnya gua nanya. Seenggaknya hal itu jadi pelajaran penting untuk gua di masa-masa yang akan datang.


Besoknya, sepulang sekolah, sesuai instruksi dari siswi tersebut, gua dateng ke suatu ruang kelas karena katanya tim olimpiade Matematika ngumpulnya di situ. Di situlah, gua ketemu dengan salah satu kenalan gua, Novi, dan dikenalkan dengan 2 orang baru, Bang (seenggaknya waktu itu gelarnya masih ini) Noadi selaku mentor/pengajar/pelatih dan Ngesti selaku salah satu anggota tim. Tiap mata pelajaran diwakili 3 siswa/siswi, ternyata. Mulai hari itu, selama 3 hari (sisa waktu untuk persiapan olimpiadenya tinggal segitu aja), gua dicekokin cara-cara ngerjain soal-soal Matematika dengan tepat dan, yang lebih penting, cepat. Gua lumayan tertarik sih ngikutin persiapannya, terutama karena gua jadi tahu trik-trik tertentu yang katanya biasa diajarin untuk anak-anak yang ikut bimbel. Sebagai anggota grup sekolah-pulang-sekolah-pulang, ini hal baru buat gua. Dengan bekal 3 sesi persiapan, niat, dan kesadaran kalo gua nggak akan punya performa yang bagus, tibalah hari babak penyisihan olimpiade.

Kebetulan(?) acaranya ada di sekolah gua, jadinya ya gua kayak berangkat biasa aja. Kalo nggak salah, sialnya hari itu hari Sabtu. Gua lupa susunan acaranya kayak apa, tapi gua inget kalo ada 2 sesi "ujian", yang satunya biasa aja dan yang satu lagi ada poin negatif kalo salah jawab, kalo nggak salah. Gua nggak punya opsi lain selain berusaha ngejawab tanpa rasa bersalah aja. Gua yakin kalo gua nggak akan dapet nilai paling bagus, jadi apa salahnya kan?

Seinget gua, waktu hasilnya diumumin, gua dapet peringkat antara 40an-60an dari ratusan (mungkin 100?) peserta olimpiade Matematika waktu itu. Gua bangga dong. Dengan 3 hari persiapan, hasilnya ternyata lumayan juga, minimal buat gua. Karena gua udah bangga, gua sudah siap menutup karir gua di olimpiade mata pelajaran SMA. Hari itu adalah hari terakhir gua berurusan dengan olimpiade. Setelah penyisihannya selesai, seinget gua, gua langsung pulang aja.


Gua sudah melakukan hal yang (setelah gua di-SMS oleh seseorang untuk ikut) gua harus lakukan. Waktunya gua istirahat. Gua pulang dan kehidupan berlanjut.

Yoho~

Rabu, 23 Desember 2020

Fairy Dust

Yo.


I saw a tricky old man in a kitchen

Hot pan in his hand

Added splash of water to the hot oil

Pitter patter and bam


The open restaurant door

Watched a chef with the wrong cookbook

Got dropped with a bang, Mike Tyson with a hook

Kissed the tiles on the floor


I need that fairy dust

Not great but a must

I need that melted cheese in that pizza crust

So I can function at night


Little fella with a bell

Metaphorically wasn't from Rivendell

We parted ways, I wished her well

To live the life of a Cinderella


I saw a human girl through a window

Like a stalker with a drone

The father's there, too, so mom's not a widow

And I left in the snow


I need that fairy dust

Not great but a must

I need that melted cheese in that pizza crust

So I can function at night


Yoho~

gua pengen cerita tentang performa akademik gua x28

 Yo.


Hari Ibu di Indonesia nih!

Waktunya gua cerita tentang perjalanan akademik gua selama gua melaksanakan program wajib belajar 12 tahun.

Nggak ada korelasinya, tapi gua lagi nggak kepikiran cerita lain dan mungkin ini bisa jadi suatu cerita yang membanggakan untuk orangtua gua.


Kita mulai dari pas gua TK: gua nggak inget detailnya, tapi gua lulus tepat waktu.

Gua nggak yakin sih ini bisa dibanggain atau nggak.


SD!

Urut dari kelas 1 ke 6, urutan ranking gua (kalo nggak salah): 3, 3, 4, 5, 3, 3.

Di upacara kelulusan, diumumin kalo gua dapet peringkat 9 dari angkatan yang lulus waktu itu.

Yey?


SMP!

Urut dari kelas 1 ke 3, urutan ranking gua kayaknya nggak pernah masuk 10 besar dari 24 siswa.

Gua bersyukur udah bisa lulus.


SMA!

Gua lupa ranking gua di semester 1. Gua nggak yakin juga kenapa ranking semester jadi penting di SMA, tapi begitulah adanya waktu itu.

Mulai dari semester 2 sampe 6, urutan ranking gua kalo nggak salah: 2, 1, 1, 4?, 3?

Gua cukup bangga dengan ranking gua di semester 2 karena nilai ini melambangkan comeback gua setelah diopname karena DBD.

Di semester 3 dan 4, gua dapet ranking 1 di kelas dan di angkatan, f-in sick, bruh. Gua nggak nyangka sama sekali sih, terutama karena komposisi siswa/siswi di kelas gua. Seenggaknya waktu itu SPP gua jadi gratis, walaupun nggak dialihin jadi uang jajan gua,

Di semester 5 dan 6, gua kurang yakin sih soal ranking gua. Kelas gua isinya jendral-jendral akademik. Ngeri banget. Untungnya sih gua jadi hampir nggak pernah disuruh maju ke depan kelas untuk ngejawab pertanyaan guru karena pasti ada yang lain yang berusaha ngejawab. Selain itu, komposisi siswa yang lebih sedikit dibanding siswi bikin kita jadi sering menggila bareng. #AngkatBangku #AngkatMeja


Gitu deh.

Sambil nulis ini, gua sadar kalo postingan ini bisa diartikan sebagai flexing. Kurang tepat. Kalaupun gua flexing, gua cuma flexing ke kakak gua doang. Sialnya, dia juga pinter sejak masa sekolah dan rasanya ranking dia lebih baik dari gua kecuali pas kelas 2 SMA (gua yakin gua menang).

Semoga ini bisa jadi bukti rasa terima kasih gua untuk segala didikan, saran, dan pantangan dari La Signora Grande. Selamat Hari Ibu! Gua rasa beliau bisa bangga karena anaknya punya hasil akademik yang baik selama di sekolah.


Yoho~

Selasa, 22 Desember 2020

gua pengen cerita pas gua diopname karena demam berdarah, bagian 3 x27

 Yo.


...

Lanjut ! (2)

...


Gua akhirnya pindah ke ruang rawat inap biasa.

Nggak banyak hal menarik sih.

Gua sempet dimandiin di tempat tidur sama suster. Nggak asik sama sekali, terutama karena gua nggak punya pilihan lain.


Yang gua paling inget adalah begitu gua merasa baikan, gua langsung inget kalo gua punya kewajiban sebagai seorang siswa. Gua minta La Signora Grande bawain beberapa buku paket dan catatan gua supaya gua bisa nyelesain beberapa PR. Akhirnya gua nggak kerjain juga sih. Badan gua terlalu sibuk minum air putih dan mulihin kondisi untuk mikirin urusan akademik.

Lu pasti pernah denger kalo lu mesti minum minimal 8 gelas air putih per hari. Lezat~ Dalam perawatan DBD, lu mesti minum 3 liter air putih per hari. Lebih lezat~ Tiap saat cuma glug-glug-glug. Kalo gua udah bosen minum air, gua bengong deh. Ada beberapa pengunjung sih. Beberapa saudara, beberapa temen dari sekolah baik yang sekelas, pernah sekelas, dan dari PPKr, ada tetangga yang dateng juga kalo nggak salah, ada temen sekantor Der Weise Vater juga.


Waktu di ICU, nafsu makan gua nggak ada sama sekali. Hidup cairan infus! Begitu ke ruang rawat inap, nafsu makan gua sedikit demi sedikit bertambah. Awalnya gua dikasih "makanan rumah sakit". Kalo lu pernah diopname juga, gua tau kalo lu tau. Pilihan menunya (waktu itu gua nggak bisa milih sih) menarik sih, tapi yang lebih menarik adalah rasa masakannya yang khas dan cerdas. Khas karena unik, cerdas karena masakannya makin nggak enak dengan meningkatnya kesehatan gua. Gokil.

Selama beberapa hari pas gua masih makan masakan rumah sakit dan banyak orang dateng, ada beberapa yang bawa buah dan/atau roti. Sialnya, gua nggak dibolehin makan roti yang dibawain sama dokter. Di momen itulah, kakak gua nambah alasan untuk dibenci oleh gua. Si kampret ini masih gua benci banget karena sebelumnya nggak mau nyariin taksi untuk ngebawa gua ke rumah sakit. Dengan santainya, dia makan semua roti yang orang-orang bawain untuk gua. Gua sadar kalo gua nggak boleh makan roti-roti tersebut. Gua sadar kalo kakak gua suka roti. Gua sangat sadar kalo kakak gua nggak pernah minta ijin dulu ke gua. Pas dia lagi makan roti ke sekian, gua baru berkomentar karena tenaga gua masih sedikit dan respon kakak gua adalah, "Lah lu kan nggak boleh makan." Nggak ada rasa bersalah, nggak ada niat untuk akhirnya minta ijin. Gua rasa itulah nilai-nilai dasar dalam hidup kakak gua, tingkat kepercayaan diri dan kebanggaan terhadap diri sendiri dia emang tinggi banget, tapi sialnya situasinya bikin gua jadi tambah benci sama dia, waktu itu.

Gua inget, setelah sekian lamanya nggak komplain soal makanan rumah sakit, gua akhirnya komplain ke La Signora Grande kalo "rasa tahunya aneh". Menurut La Signora Grande sih rasanya sama aja sejak pertama gua dikasih sampe saat itu, tapi sejak gua bisa komplain sampe akhirnya gua nggak dikasih makanan rumah sakit lagi, selain tahu, rasa ayam cincangnya juga makin aneh. Suatu malem pas giliran La Signora Grande jaga, gua ngeliatin beliau makan pecel lele, yang hampir selalu beliau beli pas jaga malem. Suatu kali, setelah gua minta berkali-kali dan mungkin La Signora Grande inget keluhan gua soal makanan rumah sakit, gua dikasih 1 suap pecel lelenya. Cuk, disitu gua diingatkan kalo makanan orang sehat itulah yang cocok untuk gua. Sejak momen itu, La Signora Grande mendukung gua untuk berargumen ke dokternya kalo makanan rumah sakit udah nggak cocok untuk gua. 2 hari kemudian, gua dibolehin makan makanan dari luar rumah sakit yang dibeliin oleh La Signora Grande.


Setelah beberapa hari, akhirnya gua boleh keluar dari rumah sakit. Seinget gua sih gua seminggu di ICU dan sekitar sepuluh hari di ruang rawat inap biasa. Gua keluar rumah sakit di suatu hari rabu atau kamis, dan lanjut ke hari-hari lemas di rumah. Di hari kamis atau jumatnya, wali kelas gua dan beberapa temen sekelas mampir ngejenguk gua di rumah. Sialnya, waktu itu gua lagi sendirian di rumah. Kalo lu lagi baca dan lu inget kalo lu ada di momen itu, gua minta maaf karena gua nggak siapin minuman untuk lu yang sengaja dateng ngejenguk. Lu nggak perlu merasa bersalah karena gua masih super lemah, karena setelah gua ceritain kalo tadi ada yang dateng ngejenguk ke La Signora Grande, komentar beliau adalah "kok nggak dibikinin minuman sih, huft". Tough love.


Hari Seninnya, gua udah ke sekolah lagi dan udah bisa ikut upacara bendera. Hari berlanjut, kehidupan berlanjut.


Yoho~

Senin, 21 Desember 2020

gua pengen cerita pas gua diopname karena demam berdarah, bagian 2 x26

 Yo.


...

Lanjut!

...


Begitu hasil tes darahnya keluar, voila! gua dikabarin kalo gua terkena Dead By Daylight, ralat, Deman Berdarah Dengue alias DBD alias DB.

"Tuh kan, dibilang juga apa!" Kata La Signora Grande.

"Ya kan baru tau pastinya," kata gua.

Opname! Tadinya sempet dibahas kalo gua mungkin bakal diopname di ruang rawat, tapi begitu hasil tesnya keluar, gua dibawanya langsung ke ICU. Gokil. Jujur, sebagian diri gua merasa bersyukur karena gua ditempatin di ICU karena gua belom pernah masuk ke ruang ICU. Dulu pas gua masih SD, pernah ada anggota keluarga besar gua dirawat di rumah sakit, di ruang ICU, tapi waktu itu gua nggak boleh masuk dan cuma nunggu di bangku-bangku diluarnya. Kali ini, gua dapet akses eksklusif. Very nice. Kurang sip karena gua jadi pasien, tapi gua tetep tertarik untuk masuk ICU.

Gua nggak inget detail isi ruang ICU kayak apa sih. Salahin badan gua yang lagi gak karuan. Gua ingetnya cuma pintu masuk dari lorong rumah sakit ada di sisi depan-kiri gua dan gua ada di tempat tidur ketiga dari kanan (arah orang yang baru masuk, begitu mereka nengok kanan).

Infus itu nggak asik ya. Super penting sih, tapi kegendutan gua agak nyusahin suster yang masang infus gua. Perlu beberapa tojosan sampe posisinya pas. Ini juga jadi masalah kalo darah gua perlu diambil untuk diperiksa. Never again, I hope to myself. Minimal 3 tojosan untuk diambil darahnya itu bukan sesuatu yang asik.

Ganti posisi infus juga nggak asik. Sejak gua di UGD, sebelum resmi masuk ICU, gua diinfus di pergelangan tangan kanan. Setelah beberapa hari, gua berasa kalo jarum infusnya agak longgar, serasa tekanan darah gua ngedorong jarumnya keluar. Gua terganggu banget karena ada rasa "goyang-goyang kayak nggak pas posisinya" mirip gigi yang goyang dan akan dicabut. Sialnya gua terlalu lemah untuk berkomentar. Akhirnya infusnya lepas sendiri, dan keputusan seseorang (bukan gua) waktu itu adalah pindahin infusnya ke pergelangan tangan kiri gua. Pas nyari titiknya, agak susah juga dan butuh beberapa tojosan. Bekas infusnya masih ada. Gua lagi ngeliatin bekasnya. Bisa dibilang, bekas ini adalah pengingat untuk gua kalo gua pernah dirawat di ICU karena DBD.


Nah, sekarang kita masuk ke bagian yang bisa jadi 100% imajinasi gua. Gua bilang gini karena nggak ada saksi dari keluarga gua yang bisa membenarkan cerita di bawah.

Kateter urin itu juga nggak asik. Gua yakin kalo awalnya gua dikasih wadah khusus (bentuknya bisa dibilang mirip jerigen minyak, dengan bentuk yang disesuaikan) untuk nampung kencing gua. Maklum, gua nggak dibolehin bangun dari tempat tidur. Suatu malam, entah hari keberapa gua di ICU, gua inget ada suster yang nyoba pasang kateter urin untuk gua. Cerita singkatnya, sensasinya aneh banget pas dimasukin, dan, pas akhirnya sampe ke kandung kemih gua, ada muncratan kencing. Gua pilih "ada muncratan" karena bukan atas kehendak gua. Jalurnya dibuka oleh selang kateter urinnya dan apalah daya gua untuk menahan tekanan air kencing yang ada.

Setelah itu, ingatan gua kabur tentang berapa lama kateter urinnya kepasang. Ini yang bikin gua ga yakin kalo gua pernah dipasangin kateter urin. Setelah beberapa saat (detik, hari, entahlah) kateter urinnya dilepas. Sensasinya aneh juga.

OH OH OH. Gua rasa gua beneran dipasangin kateter urin! Ini gua ingetnya sambil nulis postingan ini. Gua inget ada kebahagiaan pas akhirnya kantong penampung kencing gua cepet banget penuhnya dan akhirnya ada keputusan kalo kateter gua bisa dicabut dan gua boleh kencing di jerigen spesial itu lagi.

Ralat pernyataan gua tentang kurang yakinnya gua atas peristiwa diatas.


Cerita lainnya pas gua masih di ICU, gua sempet mimpi sesuatu yang aneh banget.

Gua mimpi kalo suatu malem gua bangun dari tempat tidur. Gua cabut infus di tangan kanan gua. Terus, gua keluar lewat jendela yang ada di kanan tempat tidur gua (disitu kayaknya nggak ada jendela deh, tapi ada atau nggaknya jendela nggak penting buat gua waktu itu, jadinya gua nggak perhatiin dan akhirnya gua nggak inget). Gua jadi berdiri di pijakan kecil, mungkin lu bisa kebayang kayak di film kalo ada orang jalan di pijakan diluar jendela pas kabur dari pengejar gitu. Di lahan di sisi rumah sakit, ada lapangan olahraga, kalo nggak salah lapangan bola. Agak jauhan, ada bukit yang tingginya sampai setinggi bangunan rumah sakit. Lerengnya nggak terlalu terjal dan ketutup rumput, kesannya bisa dijajaki dengan gampang.

Mimpi gua berhenti disitu. Setelah itu, seinget gua, gua bangun dari tidur dan keseharian ICU gua berlanjut.

Mungkinkah gua mimpi itu karena gua bosen udah beberapa hari di ICU? Mungkin. Pastinya itu bukan kenyataan berdasarkan posisi rumah sakit dan lingkungan sekitarnya dan fakta bahwa gua masih terlalu lemah bahkan untuk ganti posisi tiduran.


Gua kayaknya pernah nyeritain bagian ini, tentang pasien-pasien lain di sekitar gua. Cuma 2 sih yang gua inget, pasien di sisi kiri dan kanan gua. Dua-duanya nggak ada di waktu yang sama. Seinget gua, awalnya di sisi ICU itu cuma ada gua. Hari kedua (atau ketiga, intinya gua belom lama di ICU), ada pasien masuk, di sisi kiri gua. Malem harinya, ada "alat gede banget" didatengin untuk pasien ini. Gua nggak tau siapa orangnya, apa penyakitnya, dan kenapa dia butuh alat yang gede banget yang nggak gua kenali (gua cuma inget ukuran alat itu). Besok paginya, pasiennya udah nggak di sisi kiri gua lagi. Gua nggak tau apakah pasien ini jadi pindah ke tempat perawatan lain atau akhirnya meninggal. Amin untuk kebahagiaan sejati dalam hidup atau akhir hidupnya. 1 atau 2 hari setelahnya, ada pasien di sisi kanan gua. Apakah ini pasien yang tadinya di kiri gua? Bisa jadi. Sampe sekarang, gua nggak tau. Yang gua tau adalah malam harinya, ada banyak pengunjung untuk pasien ini dan mereka ngadain doa bersama. Besok paginya, pasien ini udah nggak di kanan gua. Gua denger dari La Signora Grande yang denger dari suster/dokter jaga ICU, pasiennya meninggal malem itu. Amin untuk kebahagiaan sejati di akhir hidupnya. Akhirnya, di sisi ICU itu, gua jadi sendirian lagi.


Gua dapet beberapa pengunjung sih. La Signora Grande jagain gua tiap malem. Paginya, Der Weise Vater dateng, jemput La Signora Grande untuk istirahat di HQ1, dan gantian jaga gua. Sorenya, Der Weise Vater jemput La Signora Grande untuk jaga malem. Seinget gua sih gitu sistemnya. Poin penuh untuk tag team suami-istri yang fungsional. Kakak gua sempet ikut kalo diluar jam sekolah, tapi seinget gua nggak pernah masuk ke ruang ICU-nya. Beberapa tante gua dari Jakarta juga pernah mampir. Saudara lain dari keluarga besar kayaknya juga sempet ada yang mampir ke ICU, tapi gua nggak yakin siapa aja, kalaupun emang ada yang dateng. Kalo nggak salah, ada temen sesekolah gua yang dateng juga, tapi nggak masuk ke ICU (tapi gua kurang yakin sih).


Gua bersyukur karena hobi gua adalah mikir, sehingga gua nggak pernah sepenuhnya bosen walaupun terus-terusan di kasur (dan emang nggak mampu bergerak). Gua sempet bosen sih karena nggak bisa ngapa-ngapain, tapi gua tinggal liat sekeliling dan berimajinasi soal skenario-skenario yang mungkin terjadi dan gua jadi nggak bosen. Gitu-gitu aja sampe akhirnya gua keluar dari ICU. Oh, sempet seru tuh pas gua ngomentarin kalo label nama di botol obat yang ada di meja sebelah kasur gua ditulisin nama orang lain. Itu obat emang buat gua, dan emang tadinya untuk orang lain jadinya nama orang itu yang ditulis tapi HEY hal-hal kecil kayak gitu ga bakal lolos dari gua. Waspadalah waspadalah!


Setelah beberapa hari, gua dibolehin keluar dari ICU dan pindah ke ruang rawat inap biasa. Di situ, gua denger penjelasan dari dokter tentang kondisi gua. Gua jadi tau kalo gua awalnya gua langsung disuruh masuk ICU karena kadar trombosit dalam darah gua udah rendah banget waktu itu. Gua lupa dibilangnya normal itu seberapa, kalo nggak salah sih minimal 100an (gua nggak tau satuannya apa dan belom niat untuk nyari tau, dan salah satu indikasi DBD adalah kalo kadarnya dibawah nilai 100an itu), tapi waktu gua masuk ICU, kadar trombosit gua 43. Gua inget banget angka 43 ini, dan waktu itu gua cuma bisa wow.

"Wehehehey angkanya rendah banget dan gua masih hidup," pikir gua sambil hampir ketawa.

Oooh hidup itu indah. Hidup gua pun berlanjut di ruang rawat inap itu.


...

To be continued

...


Yoho~

Minggu, 20 Desember 2020

gua pengen cerita pas gua diopname karena demam berdarah, bagian 1 x25

 Yo.


Gua akhirnya sadar betapa susahnya nyeritain perjalanan SMA gua sampai seterusnya karena sebagian besar udah gua tulis di blog ini. Ada sih momen-momen yang bisa gua jelaskan atau gua analisis dengan lebih dalam, tapi kemungkinan besar gua mesti ngungkapin identitas beberapa temen gua dan beberapa "seseorang" yang pernah gua tulis di blog ini.

Berhubung kemarin gua lupa nulis, sambil gua nunggu makan siang mateng, gua cuma bakal nerangin cerita yang udah beberapa kali gua tulis disini, yaitu pas gua diopname.


Kita mulai dari gimana caranya gua bisa diopname.

Suatu hari Jumat, mendekati jam pulang sekolah, gua merasa badan gua super pegel. Super pegel, super lemas, nggak normal untuk hari tanpa pelajaran olahraga dan jenis pelajaran yang gua hadapi di hari itu yang nggak perlu mikir keras. Kalaupun ada hari dimana gua perlu mikir keras, hasilnya paling gua pengen maki orang atau pengen main game aja, bukannya pegel di sekujur badan.

Waktu itu, kalo nggak salah nggak ada kegiatan PPKr (Persekutuan(?) Pelajar Kristen) SMA gua juga, jadinya gua bisa langsung cabut. Sesampainya di rumah, ya gua istirahat. Tidak lupa berganti baju, tentunya. Hari itu pun berlanjut dan gua cuma pengen istirahat seharian karena pegelnya nggak ilang juga.

Besoknya, gua ngerasa "sakit". Gua kasih tanda kutip karena sejak gua mulai sekolah, orangtua gua khususnya La Signora Grande bisa dibilang "memaksa" anak-anaknya untuk tetap pergi ke sekolah walaupun kena pilek atau ngerasa meriang. Mungkin menurut lu, "peraturan" itu perlu dipertanyakan dan ditantang, tapi dalam perjalanannya gua jadi punya mindset untuk menyadari seberapa sakitnya badan gua sebenarnya sehingga gua bisa menyepelekan sakit yang bisa disepelekan dan menghadapi dengan serius sakit yang tidak bisa disepelekan; gua rasa gua jadi lebih memahami respon tubuh gua. Nah hari Sabtu itu, gua terlalu "sakit" untuk beraktivitas. Harusnya gua ke sekolah untuk kegiatan ekskul, gua nggak inget apakah gua minta ijin ke ketuanya atau nggak, tapi hari itu gua jadinya di rumah aja. Gua dapet perawatan standar orang yang kena demam dari La Signora Grande, yaitu makan banyak dan istirahat banyak.

Gua udah pernah cerita kalo La Signora Grande itu mantan perawat, kan?  Kalo lu lupa, anggep aja ini pengingat. Sampai sekarang, gua masih mengandalkan nasihat-nasihat La Signora Grande untuk urusan kesehatan dan perawatan.

Sabtu berakhir, minggu datang. Gua masih ngerasa "sakit" dan gua cuma istirahat sejak bangun. Bangun pun, seinget gua, gua nggak bugar. Gua lupa situasi kesehatan masyarakat waktu itu kayak gimana, tapi La Signora Grande ngasih ide untuk nemenin gua ke rumah sakit untuk cek gua lagi sakit apa. Sebagai fans berat perawatan La Signora Grande, gua awalnya nolak.

"Ah, istirahat seharian udah cukup. Besok paling udah baikan," kata gua. Keputusan super tolol, menurut gua sekarang.

Hari itu pun gua agak sulit untuk pergi ke rumah sakit karena Der Weise Vater lagi nggak di rumah (kalo nggak salah ada panggilan dari kantor atau urusan lain yang sama pentingnya) dan kakak gua lagi super rebel (super bajingan, dan gua masih nggak akan minta maaf untuk bilang ini) dan nggak mau bantu La Signora Grande untuk manggilin taksi ke HQ1. Akhirnya, ada 1 tetangga yang berbaik hati nganterin La Signora Grande dan gua ke rumah sakit. Shoutout untuk tetangga yang masih gua inget mukanya tapi udah lupa namanya.


Begitu sampe rumah sakit, kita ke UGD biar diperiksanya cepet, didukung oleh badan gua yang super panas dan super lemes waktu itu.

...

To be continued

...


Gua lanjutin nanti sebagai tagihan postingan hari ini.

Gua belom nemu cerita lain untuk ditulis soalnya.

Yoho~

Sabtu, 19 Desember 2020

gua baru inget momen menarik lain pas gua SMP x23,5 #latepost

 Yo.


Gua pernah mesen nasi goreng plus telor ke penjual nasi goreng di kantin sekolah, tapi karena nasi gorengnya udah hampir abis dan sisanya kurang dari 1 porsi, gua dikasih telor + nasi goreng + nasi putih.

1 sisi gua cukup seneng karena gua dapet nasi sejumlah yang gua bayar.

1 sisi gua masih kesel karena keputusan itu bukan datang dari gua (penjualnya improv) dan fakta bahwa gua makan nasi goreng pake nasi putih adalah konsep yang unik dan mungkin nggak pernah terjadi sejauh sejarah bumi ini.

Gokil.


Bon weekend

Yoho~

gua pengen cerita tentang masuknya gua ke SMA x24

 Yo.


Gua rasa gua kehabisan cerita menarik pas SMP, kecuali mungkin pas anak-anak RSBI kompak beli baju semotif tapi ukurannya all-size dan gua jadinya nggak pake karena terlalu ketat buat gua. Gua rasa sisanya cuma itu dan udah selesai di kalimat sebelumnya.

Mari kita pindah ke masa SMA gua.


Bagian ini, gua rasa bisa lu crosscheck dengan postingan-postingan gua di blog ini selama tahun 2011-2013 sebelum september. Mungkin ada cerita yang bakal gua ulang, tapi gua usahain untuk nyeritain yang belom pernah gua tulis. Seenggaknya, nadanya akan lebih "mengingat dan merefleksikan" dibanding sebelumnya pas gua menghidupi cerita-cerita tersebut.


Gua mulai dari pas gua milih SMA.

Untuk sebagian orang, mungkin pilihannya gampang. Sekolah yang dituju kemungkinan besar adalah sekolah favorit di kota/kabupaten tempat tinggalnya, mungkin juga yang terdekat dari rumah. Gua rasa, waktu itu gua nggak peduli gua bakal masuk SMA mana, tapi gua sangat peduli perasaan orangtua gua kalo gua masuk SMA yang mana.

Mumpung sekolah gua masih dibayarin orangtua, gua rasa gua berkewajiban untuk menjaga korelasi kedamaian hati orangtua gua dengan pilihan SMA gua. Kebetulan juga, tahun sebelumnya, kakak gua gagal masuk sekolah yang, bisa dibilang, favorit. Kalo di Tangerang, mungkin pilihan "favorit" jatoh ke SMAN (oiya gua lanjut ke sekolah negeri lagi) 1, 2, dan mungkin 7. NEM kakak gua kecil, sayang banget padahal menurut gua dia pinter banget (ngeselin dan nyolotin, tapi pinter), jadinya dia akhirnya masuk ke pilihan ketiganya, SMAN 6 alias WD (Water Door, karena dulu bangunannya ada di deket salah satu pintu air di Tangerang). Setelah gua liat perkembangan kakak gua di situ, menurut gua sekolah itu oke aja, tapi orangtua gua masih punya sedikit keraguan kalo sekolah itu cocok untuk gua. Gua diharapkan bisa masuk ke sekolah yang "lebih baik."

Mungkin sebaiknya gua berhenti ngebandingin performa SMA gua dan kakak gua, tapi menurut gua sudut pandang orangtua gua cukup penting di cerita ini.


Selesai UN, gua diberkahi NEM yang ternyata kecil juga (#konsistensi #brotherhood ?). Kalo nggak salah, cuma beda 0,1 sama kakak gua. Kalo nggak salah sih, NEM gua waktu itu 36,65 (gua ingetnya NEM kakak gua 36,55). Waktu angkatan kakak gua, NEM segitu nggak masuk di SMAN 2 tapi, berkah Tuhan mari hitunglah, gua keterima di SMAN 2 Tangerang alias Doeta.

Doeta = doea tangerang = dua tangerang = 2 tangerang karena sma negeri 2 tangerang.

Gua kurang setuju sama panggilan yang "terlalu mudah" kayak gini, tapi karena dalam perjalanannya namanya udah nempel sama performa sekolahnya, gua mendukung nama ini dari aspek sejarahnya.


Yey, gua masuk ke SMA yang membahagiakan orangtua gua.

Gua akhirnya ikut bahagia sih, karena gua cuma perlu naik angkutan umum 1 kali tanpa ganti, dari belakang rumah gua tepat ke depan sekolah. Very cool.

Momen ini adalah awal dari terpisahnya sekolah gua dan kakak gua. Dari TK, SD, SMP, kita sesekolah. Begitu masuk SMA (dan seterusnya di tingkat lanjutannya), kita masuk ke sekolah yang beda-beda.


Begitu masuk sekolah baru, MOS dong (atau mungkin MBS atau MABIS).

Momen paling menarik dari MOS bagi gua, jujur mungkin ini akan memicu PTSD bagi alumni sekolah gua, adalah mengenai Biskuat (bukan sponsor, sayangnya). Buat yang baca dan mulai merasa mual, hey, mungkin lu pernah liat gua pas SMA.

Waktu itu, salah satu "perlengkapan harian" untuk MOS (selain alat tulis dan bekal makan siang) adalah sebungkus Biskuat, ukuran sedang. Waktu itu, belum ada yang ukuran kecil jadi mungkin bisa dibilang ukuran paling kecil pada masanya. Nah pas apel pagi, sebelum akhirnya kucrut-kucrut baru diarahin ke kelas masing-masing, kita disuruh ngabisin sebungkus Biskuat ini, dengan alasan yang nggak gua tau sampai sekarang. Serius, kayaknya gua lagi bengong pas dijelasin apa maksudnya. Kemungkinan besar sih untuk sarapan, soalnya MOS-nya mulainya jam 6 pagi.

Dalam peraturan bersekolah anak-anak HQ1, kita sarapan pagi normalnya jam 5.30, jadinya gua dan La Signora Grande tinggal nyesuain jadi ke jam 5, jadinya nggak ada masalah buat gua dan La Signora Grande. Intinya, gua udah sarapan di rumah.

Buat gua sih, Biskuat itu jadi snack pagi. Sebagai pengemban peran "tong sampah" di HQ1 (waktu itu), gua nggak ada masalah untuk ngabisin 1 bungkus Biskuat dalam waktu singkat. Instruksinya sih disuruh angkat 1, terus habisin dalam 10 detik, kalo nggak salah. Gua paham kalo ini mungkin jadi trauma mendalam bagi beberapa anak dan mungkin bikin mereka jadi benci Biskuat seumur hidup. Buat gua waktu itu, gua cuma tertantang untuk makan dengan cepet aja.

Benih-benih kerusuhan/kepanikan timbul pas ada anak yang bawa Biskuat bungkus gede (jumlah di dalamnya sekitar 5-6 kali dari yang bungkus sedang). Senior yang jadi "pemandu kelas" gua (entah istilahnya apa waktu itu) ikut ngebantu (terutama dengan ngambil seraup dan dikantongin), dan gua sempet kebagian dan (maaf) dengan senang hati gua abisin bagian gua. Mungkin gua agak kesel karena pas sesi makan itu, nggak boleh ada yang minum, tapi selain itu gua aman dan tentram. Hidup tong sampah(?). Begitu MOS-nya selesai, gua rasa anak-anak baru jadi kenal lingkungan sekolah, kenal banyak senior, dan mayoritas punya dendam tersendiri ke 1 merk biskuit tertentu.


Kecuali gua, mungkin. Gua kenal lingkungan sekolah, kenal sedikit senior, dan tetep setia ke merk biskuit tersebut.

Yoho~

Jumat, 18 Desember 2020

gua pengen cerita tentang kejadian kebakaran di sekolah gua x23

 Yo.


Ini ketiga kalinya gua ngeliat kebakaran secara langsung.

Pertama dan kedua kalinya (gua lupa urutannya gimana), kejadiannya di komplek perumahan HQ1. Salah satunya adalah rumah temen SD gua dan salah duanya adalah rumah yang nempel di belakang rumah gua.

Bukan ingatan yang menarik selain bagian pas gua nangis karena nggak bisa ngapa-ngapain.


Nyeh, suatu hari, terjadilah di SMP gua.

Kalo lu asal Tangerang, mungkin lu inget kejadian ini. Sekitar tahun 2009/2010, kayaknya.


Kalo dari sisi teknis, waktu itu katanya apinya berasal dari salah satu ruang komputer. Korsleting listrik, kalo nggak salah. Dari situ, karena banyak material plastik, perabotan kayu, kain gorden, dsb, apinya jadi tumbuh dan tumbuh. Waktu sang api so besar, akhirnya ruangan komputer tersebut dimakan mentah seperti beberapa sayuran (red: terlalap), asap hitam membumbung, dan akhirnya setelah beberapa jam apinya berhasil dipadamkan.


Kalo dari sisi gua, gua inget sempet ngedenger ada bunyi dentuman. Nggak terlalu kenceng, nggak terlalu nyaring, bunyinya mirip meja yang diangkat dan dilepas dari ketinggian 2 cm, kira-kira. Reaksi gua pun nggak terlalu waspada, jadinya. Terus akhirnya mulai ada keramaian dari luar kelas gua. Sebagai remaja tanpa arah, gua ikutan keluar kelas. Kelas gua letaknya di seberang ruangan yang ada tepat dibawah TKP. Begitu gua liat ke arah orang-orang lain ngeliat, udah ada asap hitam yang tinggi banget.

Di situ, gua pikir dalam hati, "Wow."

Gua yang biasanya ngeliat kebakaran gede di TV, sekarang bisa ngeliat langsung.

Ngeri-ngeri-tertarik? Mungkin lebih tepatnya gua ngerasa ngeri-ngeri-wow. Terutama karena seberapa deketnya TKP dengan kelas gua.


Singkat cerita, setelah gua diem beberapa menit sambil ngeliatin asap yang tinggi banget, akhirnya ada instruksi dari guru-guru supaya anak-anak diungsiin. Gua ambil tas, gua pergi ke arah belakang sekolah, dan anak-anak dibolehin pulang. Nice. Kebakaran itu nggak asik tapi pulang cepet dari sekolah itu asik, dan gua ngeliatnya secara terpisah. Itulah yang gua lakukan dulu, itulah yang masih gua usahakan sampe sekarang. 

Kejadian kebakarannya masuk berita sore hari itu, terus masuk koran dan berita utama hari berikutnya. Bukan sesuatu yang membanggakan. Bukan momen ngeliat nama sekolah lu masuk berita yang bisa disombongkan ke orang lain.


Besoknya, sekolah udah normal lagi (kalo nggak salah, nggak ada jeda akhir minggu) dan kehidupan berlanjut.

Yoho~

Kamis, 17 Desember 2020

gua pengen ngomong tentang kedua kalinya gua berantem di sekolah x22

 Yo.


Teaser-nya udah ada di cerita pertama, sekarang gua ceritain yang kedua.

Postingan sebelumnya mungkin bisa disebut 'berantem' juga sih, tapi menurut gua kejadian itu lebih cocok dibilang adu mulut aja.

Kali ini, ada bagian hantamnya. Bukan baku hantam, tapi ada hantaman dari 1 pihak ke pihak lain, baik secara fisik maupun emosional.


Momen ini jadi super spesial karena gua berantemnya dengan orang yang kalo gua liat balik adalah sahabat terbaik gua pas SMP, yang kita sebut aja sebagai LKM. Secara umum, gua nggak pernah bilang ke orang kalo mereka adalah "sahabat" atau "temen aja" atau semacamnya karena itu bukan gaya gua. Gaya gua adalah gua benci semua orang sama rata #keadilan. Kalo kasih sayang, ada beberapa orang yang gua kasihi lebih dari yang lain, dan mungkin bagi orang-orang inilah yang disebut "keluarga" atau "sahabat".

LKM adalah sahabat gua nomor 1 pas gua SMP. 3 tahun kita sekelas. 3 tahun kita ngerayain ultah bareng. 3 tahun kita main pokemon. 3 tahun kita bego-begoan. Kalo soal akademik, anak ini dewa. Di kelas RSBI waktu itu, ada beberapa anak super pinter. LKM ini dewa karena selain super pinter, dia eksentrik dan bisa dibilang wild card. Ada momen yang wow karena kepintarannya, ada yang wow karena kebegoannya.

Pernah dia nulis 7/7=2. Waktu itu kita sebut kalo itu adalah teori baru yang mungkin bisa ngegantiin Hukum Relativitasnya Einstein.

Pernah dia lupa salah satu nama tokoh penting yang jadi jawaban ulangan sejarah dan dia tulis namanya jadi "Majindun." Gua udah lupa siapa yang dimaksud, tapi pastinya bukan Majindun. Entah nama itu dateng dari mana, tapi itulah jawaban yang ditulis LKM.

#MenolakLupa

Kalo dibanding dia, gua sih nggak seberapa. Mungkin gua punya 1-2 momen akademik yang bersinar sementara LKM hampir selalu bersinar. Oh tapi gua bisa nyentuh lantai dengan jari tangan di posisi bungkuk, LKM waktu itu nggak bisa. Tapi dia bisa masuk posisi kayang dari berdiri tegak; super gokil.

Dari yang gua inget, kita nggak pernah peduli tentang segala perbedaan kita sih. Mungkin itulah resep pertemanan yang tahan lama.


Waktu itu kita di kelas 3 SMP. Dari beberapa minggu sebelumnya, LKM lagi digosipin "temen-temen-demen" dengan 1 temen cewek yang sekelas. Sebagai remaja 16/17 tahun di 2012/2013, ngecengin alias ngecie-ciein temen sekelas yang "temen atau demen" adalah sesuatu yang dicari tiap hari dan akan jadi topik hangat untuk waktu yang lama.

Gua, sebagai anak SMP dan temen yang bajingan, ngikut. Kalo biasanya gua ikut ketawa atau sedikit ngeledek, hari itu gua ngeledeknya, bisa dibilang, berlebihan. Karena gua bego dan kekurangan interaksi dengan manusia, gua rasa gua cuma ikut ngeledek aja, nggak ada yang berlebihan.

Apakah gua akhirnya sadar kalo gua udah berlebihan ngeledek si LKM? Yap. Apakah gua sadar dengan sendirinya? Nggak. Waktu jam istirahat siang itu, pas gua dan LKM lagi nongkrong di depan kelas, dia "tiba-tiba" (ini dari sudut pandang gua. kalo dari sudut pandang dia, mungkin emang wajar dan udah waktunya) nyakar lengan gua. Cakarannya panjang, nyaris dari deket pergelangan tangan ke deket siku, dalam, bengkaknya akan bikin orang yang liat bisa ngebayangin sakitnya, dan penuh amarah, bisa diliat dari ekspresi si LKM. Dari momen itulah, dimulai perang dingin antara gua dan si LKM. Gua yang bego, cuma bisa mikir kalo "sepertinya" gua udah ngeledek dia berlebihan. Kalo diliat lagi, mungkin ada baiknya gua nggak ngeluarin argumen "gua cuma ngelakuin yang anak-anak lain lakuin ke lu, tapi kok gua yang sampe dicakar dan yang lain nggak." 100 poin untuk gua yang memutuskan untuk diam aja(?). Sepulang dari sekolah, ibu gua ngeliat tangan gua ada tanda cakaran yang bengkak dan mulai jadi ungu. Gua akui, kulit gua emang super lemah dan gesekan kecil akan bikin bengkak yang lebih parah dari luka aslinya dan warna ungu itu super berlebihan menurut gua. Gua bilang dong, tadi kita lagi main aja, terus gua nggak sengaja kena cakar. Waktu itu, ibu gua bilang kalo sebaiknya gua nggak temenan sama anak yang bisa ngelukain gua kayak gitu. Karena gua tau cerita aslinya dan seberapa parah luka ini sebenernya, gua cuma ngeiyain biar ibu gua tenang.

Sampai beberapa hari setelahnya, kalo nggak salah hampir seminggu, gua diem-dieman sama si LKM. Karena kita sebelumnya terlalu sering nongkrong berdua, diem-dieman ini jadi topik hangat di kelas. Disini, sebagai penganut jalan hidup "diam adalah emas" dan "konsistensi adalah kunci", gua nggak memulai langkah apapun untuk memperbaiki hubungan yang lagi retak ini. Gua cuma menjalani hari-hari dengan belajar (titah orangtua, coy) dan introspeksi dalam hati aja.

Suatu hari, gua lupa pemicunya apa, kita baikan. Kayaknya sih si LKM yang inisiatif. Gua cuma menerima dengan hati dan tangan terbuka. Seperti cerita sebelumnya, gua udah memahami situasinya dengan logis di otak gua, tapi gua nggak punya inisiatif untuk mulai aja. Tapi karena kesempatannya dateng, gua ambil. Kita kembali ke bego-begoan sehari-hari, dan kehidupan berlanjut.


Kalo ada pesan moral yang bisa gua kasih dari cerita ini, gua mau bilang kalo lu juga tipe yang pendiam dan nggak punya inisiatif kayak gua, jangan tunda untuk mainin semua skenario yang ada di kepala lu untuk mencapai sebuah kesimpulan. Lu harus udah punya kesimpulan pas waktunya tiba, dan waktunya bisa tiba kapan aja (makanya nyebelin, tapi disitulah triknya).

Kalo kata orang, kalo bisa, lu mesti selesai berantem sebelum matahari terbenam. Saran gua sih, jangan berantem sambil jalan-jalan ke arah timur.


Yoho~


Rabu, 16 Desember 2020

gua pengen ngomong tentang salah satu alasan kuat gua bisa dibenci pas SMP x21

 Yo.


Pas gua kelas 2 SMP (kalo nggak salah), gua ngelakuin kesalahan besar.

Kesalahan ini, menurut gua, sangat masuk akal untuk jadi pemicu kebencian salah satu temen sekelas gua terhadap gua.

Tentunya waktu itu gua cuma sedikit ngerasa bersalah, terutama karena sikonnya.


Semuanya dimulai pas gua "berinisiatif" ngumpulin data nomor/orang yang bisa dihubungi dari temen sekelas gua. Kayaknya waktu itu, ini ide dari orangtua gua. Pastinya gua belom punya kemampuan dan niat untuk memulai sesuatu dalam skala ini.

Jadinya, suatu hari gua ngumpulin informasi soal nomor hp temen sekelas gua (kalo udah punya), nomor telpon rumahnya, dan nama orangtua + nomor hpnya. Begitu datanya terkumpul, gua bikin daftarnya dan gua bagiin ke temen sekelas. Kalo lu seangkatan sama gua, lu mungkin bisa meraba minimal 1 kesempatan yang muncul; kesempatan untuk gua menjadi dibenci oleh temen sekelas gua.


Gua yakin kalo gua pernah cerita di blog ini tentang momen dimana gua bilang kalo salah satu temen cewek sekelas gua terlihat cantik. Gua nggak yakin judul postingannya apa. Waktu itu, kelas RSBI sekolah gua lagi ada rencana untuk studi banding ke sekolah lain yang juga punya program RSBI (atau malah udah SBI) di Tangerang Selatan. Ngumpullah kita di depan sekolah sampe waktunya berangkat. Gua termasuk yang dateng agak awal. Kita nunggu-ngobrol-nunggu-becanda-nunggu, sampai akhirnya anak cewek ini memasuki gerbang sekolah. Gua posisinya lagi ngobrolin tentang temen gua yang di postingan-postingan sebelumnya gua sebut sebagai pasangan bromance gua pas SMP. Pas gua liat cewek ini, otak gua kena arus pendek dan gua bilang, "Kok <nama pasangan bromance gua> cantik?"

Dan kengerian hari itu dimulai. Mulai dari saat itu, seharian penuh dan sampai beberapa hari setelahnya kalo nggak salah, ceplosan gua itu jadi obrolan (dan pastinya ledekan) hangat mengenai gua. Seenggaknya itu yang gua rasain. Itu momen pertama gua keceplosan di level itu di sekolah, jadinya masih spesial banget buat gua.


Nah, di paragraf 2 gua bilang kalo ada 1 kesempatan yang muncul. Di hari itu, kesempatan itu gua pake. Di perjalanan ke sekolah tempat studi banding, di dalem bis yang ngebawa kelas gua kesana, gua yang ngerasa kesel banget karena diledekin terus, manggil salah 1 temen gua dengan nama bapaknya.

"Manggil pake nama orangtua." Ledekan klasik untuk anak seumuran gua, waktu itu. Hari itu, gua pake ledekan itu untuk salah satu temen gua. Menurut gua waktu itu, rasanya itu adalah balasan yang pantas untuk semua ledekan yang dateng ke arah gua. Menurut gua sekarang, itu adalah balasan yang "terlalu gampang", kurang cerdas, dan bukan sesuatu yang seharusnya gua ucapin. Sejauh yang gua inget, momen ini adalah pemicu segala adu argumen dan adu ledekan antara gua dan 1 temen gua itu sampai akhirnya kita lulus. Gua dan dia sering manggil nama bapak satu sama lain sebagai ledekan, yang akhirnya memicu saling manggil nama bapak di kelas gua. Jangan lupa, daftar nama orangtua anak-anak sekelas yang gua buat udah ada di masing-masing anak. Mulai dari momen itu, bisa dibilang gua nyimpen 1 sudut di hati gua untuk membenci temen gua itu. Kalo nggak salah, gua masih benci orangnya sampe gua SMA dan muncul terlalu banyak hal baru untuk diinget.

Kalo gua pikir lagi, wajar banget sih kalo kita saling benci waktu itu. Gua keceplosan sesuatu yang cocok banget untuk jadi bahan ledekan anak SMP, sehingga temen gua ngelakuin itu. Gua kebawa emosi dan manggil temen gua itu dengan nama bapaknya, sehingga temen gua ngebales. Adil dan pastinya masuk akal.

Pastinya 1 dari sekian kejadian yang bikin gua semakin teguh untuk jadi pendiam dan menutup diri dari orang lain.


Gua ketemu temen gua ini di Instagram, beberapa bulan yang lalu, setelah terakhir kali kita ketemu pas buka puasa bersama sekaligus reuni pas kita baru pada masuk SMA. Berarti, udah 10 tahun? Kita belom pernah ngebahas momen ini sama sekali. Mungkin nggak akan pernah. Kayaknya cuma gua yang masih inget banget soal kejadian ini. Gua udah nggak benci dia lagi sih. Setelah gua inget lagi dan gua pikir lagi, gua udah yakin atas keadilan dan kewajaran situasinya, dan gua emang bego banget waktu itu. Gua masih bego sekarang, jadinya masuk akal banget.

Semoga anaknya udah lupa sama kejadian ini. Bukan sesuatu yang sebaiknya diinget juga, kayaknya.


Kalo lu adalah pihak yang terlibat dan lu jadi inget lagi, gua minta maaf. Gua lebih minta maaf lagi karena lu udah nemu blog yang tidak bermanfaat ini.

Yoho~

Selasa, 15 Desember 2020

gua pengen ngomong tentang kelahiran dan kematian "karir" komikus gua x20

 Yo.


Google sempet bermasalah tadi siang. Lu tau apa yang sempet bermasalah juga? Hobi gua untuk bikin komik pas SMP.


Komik pertama yang dibeliin orangtua gua adalah Detective Conan-nya Aoyama Gosho, buku ketiga. Kalo nggak salah sih, itu pas gua masih SD. Karena ada gua dan kakak gua, kita biasanya dibeliin 2 komik per kunjungan ke Gramedia. Waktu itu, kita dibeliin buku ketiga dan keempat. Dimulailah periode dimana gua dan kakak gua dapet 2 komik dan 1 orang akan baca buku N lanjut ke N+1, dan 1 orang akan baca buku N+1 dan balik ke N.


Begitu gua masuk SMP, gua tergugah(?) untuk bikin komik sendiri. Cerita sendiri, gambar sendiri, sarana & prasarana sendiri.

Hari ke hari, gua ngabisin berlembar-lembar kertas HVS A4 polos dan pulpen tinta biru, shoutout Pilot, untuk bikin berbagai cerita pendek dan serial. Kertas A4 gua bagi jadi 17 bagian, 1 kop, untuk judul cerita, dan 16 (4x4) kotak berukuran sama, untuk diisi gambar dan teks. Gua pilih 1 kop dan 16 kotak karena gampang dibuat, cuma butuh 7 garis. 100 poin untuk kemalasan.

Dari 16 kotak itulah, gua sempet ngebikin beberapa serial cerita yang kalo gua pikir lagi, terlalu sederhana dan 1 dimensi. Terinspirasi dari komik dan game favorit gua, gua bikin cerita bertema petualangan dan pertarungan. Untuk kemudahan (atau lagi-lagi, kemalasan), semua karakter gua dulu berupa stick figure. Cuma bulatan dengan garis-garis sebagai badan, tangan, dan kaki.

Gambar sederhana untuk menemani cerita sederhana.

Serial gua yang paling panjang, kalo nggak salah, sampai 20an episode. Berarti panjang komiknya adalah 20an halaman A4, 320 kotak. Ceritanya tentang pertarungan gitu. Tiap episode, tokoh utamanya akan ketemu 1 musuh baru dan secara ajaib dia bakal menang. Menurut standar gua yang sekarang, kekuatan tokoh utama gua waktu itu adalah plot. Minim cerita tentang gimana dia dapet kekuatan super dan hampir nggak ada cerita tentang dia berlatih baik di sebelum pertarungan maupun di tengah pertarungan (sebagai flashback atau filler). Selalu cuma ketemu musuh baru-hampir kalah-wow aku sadar kalo aku punya kekuatan ini-menang (red: ketemu musuh baru-hampir kalah-komikus bilang plotnya mesti maju jadi gua mesti menang-menang).

Temen-temen sekelas gua tau dong kalo gua lagi bikin komik. Wong gua ngegambarnya di sekolah.

Rumah adalah tempat mengerjakan PR dan beristirahat, change my mind.

Makin lama, makin bertambahlah jumlah temen sekelas gua yang tau kalo gua bikin komik. Gua terus gambar, dan karena kehabisan ide untuk karakter, gua ambil beberapa nama temen sekelas gua. Karena semuanya stick figure, perbedaan antar karakter adalah bentuk kepalanya. Akhirnya, gua bikin karakter untuk semua temen cowok di kelas gua.

Kalo nggak salah, dulu kayak gini pembagiannya:

Lingkaran polos = gua

Lingkaran berwarna = Randy

Setengah lingkaran = Bonti

Segitiga = Bima

Persegi = Anggit (yap, ini nama cowok)

Lingkaran keriting = Bayu

Elips = Rhodes

Pentagon = Nanda (nama cowok juga)

Persegi panjang = Adrian

Heksagon = Fadhlan

Belah ketupat = Dali

Shoutout untuk nama-nama yang gua sebut di atas, DWASTA NEVER DIE.

Barusan gua cek postingan gua di Facebook biar nggak salah pasangan nama dan bentuk kepalanya. Ada juga sih beberapa lagi untuk mewakili anak-anak cowok lain dari kelas RSBI yang satunya (sebut saja content expansion), tapi gua lupa pasangan nama dan bentuk kepalanya dan nggak ada gambarnya di Facebook gua. Mohon maaf bagi yang merasa tidak terwakili di postingan ini.


Beginilah salah satu keseharian gua selama SMP, ngomik.

Begitu gua masuk SMA, gua berusaha ngebangkitin jiwa komikus gua dengan karakter gua pas SMP, Toto The Riper, dan 2 tokoh baru, PortoPortule dan American Standard, tapi akhirnya gua kurang tergugah untuk bikin komik lagi. Bisa dibilang, gua dulu ngerasa ganti sekolah berarti ganti hobi atau semacamnya. Mungkin gua nemu hobi lain atau kehabisan ide untuk dijadiin komik. Kalau lu belum nyadar, nama 2 karakter barunya pun adalah 2 nama panggilan baru gua pas SMA.

Coy, kalo ditelaah lagi, matinya hobi ngomik gua hampir berbarengan dengan kebangkitan blog ini.

Mungkin juga karena gua yang selama SMP nggak ada ekskul, begitu masuk SMA gua join ke English Club, departemen Word Games, spesialisasi Scrabble.

Entahlah.

Pastinya, berakhirlah karir gua sebagai komikus. Sampai sekarang, gua kadang-kadang masih seneng bikin cerita sih, walaupun dituanginnya dalam bentuk cerita lucu (untuk sebagian orang) pas lagi ngobrol atau jadi meme atau jadi komik strip super singkat. Gua belom ada hasrat dan niat untuk bikin serial lagi. Mungkin suatu saat gua akan mulai lagi, tapi apalah artinya ceplosan kalo nggak dilakukan.


Gitu deh.

Yoho~

Minggu, 13 Desember 2020

gua mengingat esensi blog ini x19

 Yo.


Mumpung gua lagi nggak ada inspirasi nulis, gua baca lagi postingan-postingan pertama gua di blog ini, tepatnya seluruh 9 postingan yang gua buat di tahun 2011, tahun kedua gua di SMA.

Gua akui, ternyata intisari blog gua dari tahun ke tahun masih sama. Pastinya gua jadi tau lebih banyak hal, gua tinggal di beberapa kota yang berbeda, gua ketemu banyak orang baru, dan gua punya banyak hal baru.

Begitu gua baca postingan lama gua, gua merasa bangga. Cuk, anak itu belom ngalamin yang gua alamin. Gua rasa kalo gua yang waktu itu ketemu gua yang sekarang, gua bakal merasa biasa aja. Kayak ketemu temen yang sering ketemu aja. Mungkin.

Gua rasa cara kerja otak gua dan gua yang waktu itu masih sama. Kita nulis dengan bahasa formal-formal-nonformal. Kita nulis tentang hal-hal personal. Kita berusaha melucu walaupun yang pasti terhibur cuma kita sendiri. Kita berusaha menjaga kerahasiaan pihak lain tanpa merusak inti ceritanya.


Gua pengen tau pendapat orang yang baca postingan ini.
Coba lu baca 9 postingan pertama gua. Kalo lu buka blog ini pake komputer, cek di sebelah kanan, cek tahun 2011, dan mulai baca dari postingan pertama. Kalo lu buka blog ini pake telpon genggam, coba cari aja deh. Yang lebih penting, mungkin lu bisa menulis kesan pesan dari apa yang lu baca, terutama soal apakah gua masih orang yang sama sejak 2011.


Cuk kemungkinan besar nggak ada yang bakal komentar, jadinya postingan ini bakal jadi pengingat untuk gua di 2029 untuk baca postingan dari 9 tahun sebelumnya.


Yoho~

Sabtu, 12 Desember 2020

gua pengen ngomong tentang transisi gua dari sekolah swasta ke sekolah negeri x18

 Yo.


Seperti yang mungkin lu tau, kemungkinan besar nggak, gua disekolahin di SD swasta. Kenapa swasta? Gua bilang sih kenapa nggak. Waktu itu urusan administrasi diurus semuanya sama orangtua gua dan gua cuma disuruh fokus ke belajar. Sampe sekarang, titah orangtua ke gua masih gitu aja sih. Kalo dari orangtua gua, mungkin gua disekolahin ke sekolah tersebut untuk pendidikan agamanya + biayanya yang terjangkau (seenggaknya pada masanya).

Gua cuma bisa bersyukur udah disekolahin disitu karena ada beberapa pengalaman menarik yang akhirnya bisa gua tulis di blog ini. Ada sih beberapa momen singkat menarik lainnya, misalnya pas gua ngalamin slow motion pas temen gua pecahin kaca jendela kelas dengan tendangan bola, pas ada guru "sableng" yang "suka" menghukum murid yang makan mie dengan dijejelin cabe (di sekolah lho ya), pas gua dikasih dompet pertama gua yang bentuknya panjang, warna biru langit, dan ada gambar F4-nya (yap, boyband dari Cina yang populer di tahun 2000an), atau pas gua nangis karena PR gua nggak dinilai dan gua malah dibawa ke UKS sekolah karena dikira lagi pilek.

Indahnya perjalanan sekolah dasarku~

2007, gua lulus dari sekolah ini. SMP gua ada di seberangnya dan geser 1 bangunan. Nyeh, sebut aja di seberangnya persis.


Gua masuk ke SMP ini karena kakak gua masuk ke SMP ini di tahun sebelumnya. Waktu itu, kata Der Weise Vater, gua sebaiknya masuk SMP Negeri biar nantinya "lebih gampang" masuk SMA Negeri dan lanjut lagi ke Universitas Negeri. Indahnya kebebasan di tengah hidup akademik yang direncanakan. Kalo gua pikir lagi, mungkin gua disuruh masuk sekolah negeri karena biayanya lebih murah. Kalo emang gitu alasannya, gua yang sekarang bakal ngedukung banget. Gua yang dulu terlalu peduli dengan pokemon dan ketololan remaja untuk mikir soal duit.

Awalnya, sebelum lulus SD, gua dapet pengumuman dibukanya pendaftaran di SMP tersebut. Kata La Signora Grande waktu itu, "Kok udah dibuka pendaftarannya? Tahun lalu, kakakmu daftarnya nggak sekarang deh." Di tengah kebingungan itu, gua didaftarin aja, toh ada pendaftaran dan gua emang disuruh masuk ke sekolah itu. Setelah daftar, eh ada tes tulis gitu. Bulet bulet bulet bulet. Setelah itu, ada "kelas matrikulasi" gitu. Barulah setelah itu, ada pengumuman kalo gua diterima dan jadilah gua siswa di SMP tersebut. Kelas gua (dan kelas sebelah) kecil banget. Totalnya cuma ada 24 siswa per kelas. Itulah yang terjadi menurut sudut pandang gua.

Mari kita telaah lebih lanjut. Gua daftar ke SMP negeri. Gua mesti ikut tes tulis. Selanjutnya, ada seleksi berdasarkan nilai tes itu. Terus gua mesti ikut kelas matrikulasi yang ternyata juga tes. Gua inget kalo gua punya 2 kenalan di kelas matrikulasi itu dan begitu sekolah seperti biasa, mereka nggak ada di kelas gua atau kelas sebelah. Mana waktu itu 1 kenalan gua itu adalah cewek yang sama-sama non-muslim. Hilanglah kesempatan gua punya temen sekelas/seprogram yang non-muslim. Dan dari ukuran kelasnya, mungkin lu tau, gua ternyata masuk ke kelas RSBI alias Rintisan(?) Sekolah Bertaraf Internasional. Di Jakarta, udah ada beberapa sekolah SBI (udah mapan, udah nggak rintisan lagi). Di Tangerang, di 2007, SMP gua adalah salah satu sekolah yang memulai program RSBI. Mungkin lu jadi tau gua ke SMP mana.

Oiya kalo lu belom kepikiran, fun fact: 3 tahun gua SMP, gua doang yang non-muslim di program RSBI itu. Gua rasa ini bukan "weird flex but ok", dan gua juga nggak peduli sama sekali waktu itu.


Di sekolah inilah gua dikenalkan ke seragam sekolah dengan celana panjang, sepatu hitam-putih ala Converse(?), gua nggak tau gimana lagi cara ngejelasinnya, dan pengalaman bersekolah di sekolah negeri.

Beberapa minggu pertama, gua bergumul keras dengan fakta bahwa temen-temen sekelas gua ada yang nyontek pas ujian dengan ngeliat buku / catatan / nanya ke temen di sekitarnya. Awalnya gua nggak terima, tapi karena mereka temen gua, gua bisa maafkan dalam hati gua dan akhirnya jadi berasa natural untuk ngediemin orang nyontek. Intisari kehidupan gua masih nggak terima dengan perilaku nyontek, tapi kalo konteksnya temen-temen gua, gua bisa memaklumi.

I mean, snitches get stitches, too.

Sambil kehidupan berlanjut, gua dikenalkan dengan pelajaran Agama Islam. Dari pas SD ada kunjungan ke Goa Maria untuk Doa Rosario tiap bulan, pas SMP gua jadi dengerin Asmaul Husna tiap jumat pagi. Gua nggak bisa pungkiri, pengalaman baru ini awalnya aneh banget untuk gua. Masuk tahun kedua, gua mulai hafal potongan-potongan Asmaul Husna dan bisa ikutan nyanyi. Guru Agama Islam untuk kelas gua juga keren abis dan super ramah, menurut gua. Jamnya pelajaran Agama Islam, gua dibolehin keluar kelas untuk ke perpustakaan, tapi beberapa kali gua tinggal di kelas untuk gambar-gambar nggak jelas, pastinya sambil ngedengerin pelajaran Agama Islam. Asik aja sih, menurut gua. Gua nggak bermasalah dengan apa yang diajarkan, dan yang ngajar dan diajar nggak bermasalah dengan keberadaan gua disitu. Gua paling inget pas ada pelajaran bagian shalat untuk jenazah. Gurunya, shoutout Pak Muhidin alias Muhidin Helm, ngegambar posisi jenazah dan orang-orang yang terlibat di shalat tersebut. Waktu itu gambarnya cukup lucu karena guru ini ngegambar jenazahnya gede banget dibanding orang-orang di sekitarnya.

Pas SMP juga, gua dapet nama panggilan Toto. Shoutout Randy "rundedunde(?)" Priyatna dan Anggi Rhodes. Pas baru kenalan, cuma nama gua doang yang ada 3 kosakata, jadinya si Randy manggil gua dengan "Toto." Gua sih nggak bermasalah sampe akhirnya gua diingatkan kalo Toto adalah merk toilet, tapi akhirnya gua jadi kebal. 13 tahun kemudian dan gua jadi tau kalo "Toto" dalam bahasa Spanyol adalah alat kelamin wanita. F-in' sick, dude.

Gua juga dikenalkan dengan dunia permainan pokemon, Nintendo DS, Cooking Mama, dan sebagainya. Special shoutout untuk rival dan saudara sedarah karena ultah kita sama tapi orangtua kita beda, Bima "Beemboyz" "Mas Bim" "LKM" Saddha dan Rizal "CaCO alias kapur" Hanif.

Masih banyak sih temen-temen yang masih gua inget namanya dengan momen-momen terkait, tapi temen SD gua aja cuma gua sebut beberapa, jadi gua sesuain sama cerita gua aja (nanti).


Gitu deh.

Gua akhirnya memulai kehidupan SMP. Awalnya gua masih naik jemputan yang sama, toh cuma nyebrang aja dari SD gua. Masuk kelas 2, gua dianter orangtua ke sekolah dan gua berhenti naik jemputan sekolah sampai seterusnya, dan kehidupan berlanjut.


Yoho~

gua pengen ngomong tentang perjalanan gua dalam hal meminum kopi x17

 Yo.


Gua lagi minum kopi, roti di kiri, susu coklat di kanan, air keran di arah jam 1.


Kali ini, gua mau cerita tentang sesuatu yang nggak otomatis untuk gua yaitu minum kopi.


Gua pertama kali minum kopi pas gua kelas 1 SMP. Itu pun butuh ijin khusus dari Der Weise Vater. Biasanya, gua nggak akan dikasih minum kopi sama La Signora Grande, tapi karena ada dukungan dari Der Weise Vater, sore itu gua dibolehin minum kopi. Ralat, kopi susu. Yang merknya ada gambar kapal uap. Jelas, kenikmatannya lebih terasa dibanding merk lain. Bukan sponsor, tentunya.

Kalo lu belum kepikiran, ini artinya kakak gua baru minum kopi susu pas kelas 2 SMP.


Cuk, minum segelas kopi susu aja butuh ijin. Tapi emang dulu, di keluarga gua kayak gitu. Alasan La Signora Grande waktu itu, seinget gua, adalah supaya anak-anaknya nggak jadi kebiasaan (mungkin ketagihan?) minum kopi. Agak aneh, menurut gua. Menurut beberapa temen gua, mereka ketagihan minum kopi terutama pas pagi. Don't talk to me, I haven't had my morning coffee yet, katanya.

Gua sendiri sih, dan ini yang bikin gua bersyukur setiap harinya, punya reaksi yang nggak bagus terhadap kafein. Ohohoho. Perut gua bakal sakit. Pertama kalinya gua minum kopi hitam (murni), sekitar 3 bulan yang lalu, gua ke toilet di luar waktunya. Gua geng toilet pagi btw. Yang lebih spesial, pertama kalinya gua minum kopi di Starbucks, pulangnya gua langsung ke toilet. Itu adalah 1 dari 3 momen dimana gua pergi ke Starbucks. Gua pernah cerita disini, mungkin sekitar akhir tahun 2016 atau awal tahun 2017, mungkin juga sekitar April-Mei 2017. Entahlah, gua lupa kapannya.


Sampai sekarang, kalo gua harus milih kopi, gua akan pilih kopi susu dulu. Kalo nggak bisa, gua akan pilih kopi yang 100% diproduksi massal alias pabrikan dan yang paling murah. Kalo lu tau, kafein itu banyaknya di obat batuk / pereda nyeri atau gatal di tenggorokan. Kopi yang murah, berarti kafeinnya rendah. Kafein rendah, berarti kemungkinan kecil gua akan sakit perut karena minum kopi itu.

Smart move, I say.

Gua pernah sih nyobain espresso. Instan, tentunya. Tambah susu kental manis, tentunya. Sialnya kalo gua minum espressonya sore, gua bakal mulai ngantuk lepas tengah malem. Cuk bikin kezel.


Gitu deh. Gua sih masih setia sama merk perahu bermesin yang dari cerobongnya keluar uap putih.

Masih bukan sponsor nih.


Yoho~

Jumat, 11 Desember 2020

gua pengen ngomong tentang perjuangan La Signora Grande untuk membantu gua menang lomba x16

 Yo.


Rangkaian peristiwa ini terjadi pas gua masih SD, kelas 6.


Quick segway: gua lagi mikir tentang apakah sebaiknya gua nulis seri ini agak kronologis, jadi dari gua TK-SD-SMP-SMA. Yang udah ketulis sih yaudah, tapi mungkin selanjutnya lebih enak kalo agak kronologis? Entahlah. Mungkin gua akan nulis kayak gini.


Kembali ke tanktop.

Gua kelas 6 SD, kalo nggak salah menjelang kelulusan.

Sekolah berjalan seperti biasa dan gua denger kabar kalo ada semacam kompetisi antar sekolah di kota gua, Tangerang yang Akhlakul Karimah. Gua cuma denger doang dan kehidupan berlanjut.

Suatu sore, sekolah gua nelpon rumah gua, ngabarin kalo gua dipilih untuk mewakili sekolah gua di kompetisi tersebut. Wow, sebelumnya sekolah gua nggak pernah sampe nelpon rumah gua untuk urusan apapun. Lebih wow lagi, ternyata kompetisinya dimulai besoknya.

Cuk, kompetisinya dimulai besoknya dan gua baru dikasih tau di sore hari sebelumnya. Mana gua nggak bisa nolak pula, soalnya gua gak ada alasan yang bagus untuk nolak. Itu, dan karena ibu gua seneng anaknya dipilih sekolah untuk ngikut kompetisi.

Di panggilan telpon itu, ibu gua dapet penjelasan sekilas tentang format kompetisinya. Salah satunya adalah ada sesi kerajinan tangan. Cuk kompetisinya dimulai kurang dari 18 jam. Disitu, gua dan ibu gua mulai mikir. Apa yang mudah dibuat dan, yang lebih penting, mudah dipersiapkan.


Jawaban kita waktu itu: gambar buaya di kertas gambar A4, ditutupi dengan kulit salak yang dilem dengan lem serbaguna. Ganteng banget.

La Signora Grande langsung meluncur ke pasar untuk beli salak. Gua meluncur ke toko kelontong terdekat untuk beli buku gambar. Sepulangnya La Signora Grande, kita kupasin sebanyak-banyaknya salak dan kulitnya ditaruh di pojokan rumah yang cukup terbuka dan cukup kering. Malemnya, gua berdoa supaya kulit salaknya bisa kering.


Keesokan harinya, gua dateng ke tempat kompetisi, bareng ibu gua tentunya. Disitu, kita ketemu dengan Kepala Sekolah gua dan baru dapet penjelasan yang lebih lengkap. Di kompetisi ini, ada beberapa jenis perlombaan. Ada lomba seni. Sekolah gua diwakilin sama temen sekelas gua yang emang langganan ikut lomba nyanyi. Lomba yang gua ikutin kalo nggak salah namanya "Lomba Siswa Berprestasi". Sekolah gua diwakilin sama gua (perwakilan siswa) dan temen gua yang jadi perwakilan siswi. Gua terlalu nervous untuk merhatiin detail lainnya.

Lomba pun dimulai.

Sesi pertama itu kalo nggak salah tes akademik gitu. Rasanya kayak ulangan aja. Kalo nggak salah, disinilah pertama kalinya gua ngadepin ujian pake pensil 2B dan mesti bikin bulet-bulet. Mohon dimaklumi, waktu itu 2006 dan SD gua swasta dengan harga terjangkau (bukan sponsor). Pastinya, gua buletin kertasnya sampe berbekas kemana-mana.

Selesai itu, istirahat. La Signora Grande punya ide brilian: beliau akan nyebrang jalan (di situ ada mall) dan beliin gua sesuatu di McDonald's. Very nice. Sebagai penggemar ikan, gua minta Fish Fillet (atau apapun namanya, intinya burger yang isinya nugget ikan, sedikit kol tipis-tipis, dan mayones. Waktu itu ada di iklan dan sebagai penonton iklan gua nggak bisa nolak kesempatan yang ditawarkan.

Sesi kedua, sesi kerajinan tangan. Gua seneng karena gua tau ini adalah sesi terakhir. Gua dateng dengan buku gambar A4, lem serbaguna, gunting, kulit salak yang agak kering, dan niat. Oh, kalo nggak salah gua juga bawa mata palsu (kalo lu paham apa yang mau gua buat, lu bisa bayangin mata palsunya yang kayak gimana). Sampai sesinya selesai, gua berusaha keras milihin, motongin, dan nempelin kulit salak yang kebanyakan masih lembab ke gambar buaya sederhana.

Waktunya selesai, tapi gua belom selesai. Seinget gua, bagian ekor buayanya belom semuanya ketutup kulit salak.


Kompetisi selesai, gua udah niat pulang aja. Gua dan ibu gua udah di perjalanan pulang pas handphone ibu gua ditelpon, katanya gua mesti balik ke tempat kompetisi untuk acara penutupan. Kita panik dan kita balik lagi.

Untungnya, kita balik nggak sia-sia. Gua dapet juara harapan. Yey! Kalo nggak salah, katanya buaya buatan gua dapet poin yang tinggi untuk orisinalitas, tapi sayangnya nggak selesai. Gua lebih peduli dengan keinginan gua untuk pulang secepatnya dan rasa kesal karena gua baru dikasih tau sekolah sore hari sebelumnya.

Segera setelah itu, gua ke ibu gua lagi, kita (red:ibu gua) ngomong sebentar dengan Kepala Sekolah dan siswa-siswi lain yang ikut di kompetisi ini, dan gua dan ibu gua meluncur balik ke HQ1.


Kehidupan berlanjut. Hal-hal yang terkait dengan kompetisi ini nggak ada yang berkembang jadi apapun di kemudian hari, seenggaknya sepengetahuan gua.

Gitu deh.


Yoho~

Kamis, 10 Desember 2020

gua pengen ngomong tentang pertama kalinya gua berantem di sekolah x15

 Yo.


Di postingan tentang poker, gua ngasih teaser tentang kejadian dimana gua ditolong oleh temen gua (gua udah lupa gimana gua nulisnya, tapi esensinya begitu). Kali ini, gua akan jelasin.


Waktu itu, gua kelas 3 SD, tepatnya kelas 3B. Nggak penting, tapi bodo amat. Kakak gua ada di sekolah yang sama, di kelas 4.

Suatu hari, di waktu istirahat (SD gua dulu ngejadwalin 2 kali istirahat per hari: "istirahat pertama" mulai jam 9 sampai 9.15 [kalo nggak salah] dan "istirahat kedua" mulai jam 11 sampai 11.30 atau jam 11.30 sampai jam 12), gua ngaso aja di dalem kelas. Waktu itu gua belom kenal konsep "makan jajanan di sekolah." Makan siang ada di kotak bekal. Minuman ada di tempat minuman yang gua bawa. Uang jajan pun belom dikasih sama orangtua (serius).

Gua lupa alasannya kenapa, tapi gua mulai berantem dengan salah satu temen sekelas gua. Kalo gua berusaha inget, gua cuma kepikiran antara urusan minjem catatan pelajaran atau PR. Pastinya nggak mungkin soal olahraga karena gua payah dan nggak mungkin diawali debat yang serius karena hobi gua adalah menghindari konfrontasi.

Yang gua inget adalah gua tetep di meja gua, kita berantem (cuk nama anaknya aja gua udah lupa, tapi image-nya waktu itu masih gua inget), dan gua akhirnya nunduk dan nangis di meja. Satu dari sekian momen gua nangis di sekolah. Gua rasa, temen "berandal" gua yang namanya Andreas itu ngeliat gua nangis (atau adiknya ngeliat gua nangis terus cerita ke dia, entahlah, gua nggak tau), terus dia manggil kakak gua ke kelas gua. Gua inget banget pas dia nunjuk ke gua dari depan pintu kelas, terus kakak gua muncul. Kakak gua ngedatengin gua, bingung pastinya, dan disitu kita ngobrol sebentar. Gua lupa apa yang gua omongin ke kakak gua, tapi gua yakin kalo gua tunjuk temen sekelas yang berantem sama gua begitu anak ini masuk kelas lagi (tadinya dia keluar sebentar).

Gua dapet detail cerita ini dari kakak gua (kita pernah ngebahas cerita ini waktu ngobrol beberapa waktu yang lalu). Kalo dari sisi gua, gua liat kakak gua ngedatengin anak itu, ngomong sebentar, terus anak itu jadi nangis juga dan minta maaf ke kakak gua. Kalo nggak salah, dia minta maaf ke gua juga sambil kakak gua ngeliat. Dari sisi kakak gua, kakak gua ngedatengin anak itu untuk nanya apa sih kejadiannya. Gua nggak bisa pungkiri, mungkin waktu itu gua terlalu emosional untuk cerita dengan jelas. Begitu kakak gua nanya, eh anak itu jadi nangis dan mulai minta maaf. Kakak gua makin bingung dong. Untungnya, akhirnya kondisinya jadi damai, masalah selesai(?), dan hari berlanjut.


Cuk, perseteruan anak-anak.

Satu dari sekian kalinya gua berantem di sekolah.

Lain kali, gua ceritain perkelahian yang gua alami pas SMP, yang dimulai dari hal yang menurut gua sepele, jadi ada luka yang bikin orangtua gua super khawatir, jadi perang dingin selama hampir seminggu. Spicy~


Gitu dulu ah.

Bakwan gua udah dingin.

Yoho~

Rabu, 09 Desember 2020

gua pengen ngomong tentang pengalaman gua minum oplosan pertama kali x14

 Yo.


Cuk susahnya nulis tiap hari.

Di depan gua udah ada makan malem gua, sepiring bakwan bawang-paprika-sosis, jadi gua ada motivasi untuk nulis secepet-cepetnya.


Kali ini, gua mau cerita tentang pertama kalinya gua minum minuman oplosan. Untuk lebih jelasnya, "oplosan" yang gua maksud adalah campuran 2 jenis minuman yang kalau dicampur, mestinya akan melanggar beberapa norma kebudayaan.

Hmmmm~

Gua rasa ini bukan hal yang spesial bagi banyak orang, tapi hal ini jadi kenangan tentang suatu periode kunci dalam hidup gua.


Sejak gua lahir sampai tahun 2007, gua belom pernah minum minuman oplosan. Hidup berjalan, tapi gua gak pernah aja. Air putih, sirop, susu sapi, minuman soda (shoutout Coca Cola walau bukan sponsor), dan masih banyak lagi udah pernah gua minum, tapi nggak pernah dicampur satu sama lain.

2007, dunia berubah untuk gua. Gua dikenalkan dengan pansus alias panta-susu alias Fanta + susu. Cuk gua baru kenal minuman ini di kelas 1 SMP. Pertama kalinya gua dikasih tau kalo kombinasi ini ada, gua tergugah.

"Lho, ini beneran?" Judge me, I dare you.

Di tahun yang sama, gua dikenalkan dengan sesuatu yang menurut gua lebih patut dipertanyakan. Extra Joss rasa original(?), yang standar warna kuning pokoknya, dan Extra Joss rasa anggur, dicampur. 2 rasa Extra Joss, dicampur. Di situlah gua jadi tau, warna ungu dan kuning kalau dicampur jadi ungu kemerahan.

"Coy coy coy coy ini legal, kan?" adalah reaksi gua waktu itu. Pastinya, gua sempet terguncang.


Dari 2 minuman dalam 1 tahun inilah, perjalanan pencampuran minuman gua dimulai, berbarengan dengan perkenalan gua dengan dunia sekolah negeri. Salah satu diantara beberapa momen kunci dalam hidup gua.


Gitu deh.

Kalo lu berharap gua pernah nyoba minuman energi + salep anti nyamuk, BIG NO!

Gua lebih tertarik untuk ngerasain sakit kepala dan sedih karena ngabisin duit untuk nyobain minuman beralkohol dibanding nyoba oplosan yang nggak jelas secara rasa dan kesehatan.

Ciao.


Yoho~

Senin, 07 Desember 2020

gua pengen ngomong tentang pengalaman horor pertama gua x13

 Yo.


(Ominous_wind.mp3)

Hari ini gua nggak lupa nulis (lagi) dan gua memutuskan untuk nulis tentang pengalaman horor pertama (dan sampai saat ini, satu-satunya) yang gua alami secara sadar.

Kalo mimpi serem atau "kok sekelebat gua merasa ada yang bisa dirasa tapi tak ada rupa?", gua ada cerita yang lain. Kali ini, gua fokus ke momen dimana gua sadar kalo ada sesuatu yang tidak wajar(?). Gua mungkin berusaha bikin tulisannya agak serem, tapi gua pernah berusaha untuk nulis sesuatu yang horor tapi sepertinya gagal, jadi tolong jangan berharap banyak.


Cus.

Tanggal: gua lupa. Sebut saja suatu hari pas gua masih SMA, mungkin di penghujung SMP, tapi gua lebih yakin pas awal SMA karena situasi dan kondisinya.

Lokasi: HQ1 alias markas Tangerang.

Orang yang terlibat: Gua. Dan karena gua doang yang mengalami, gua ga bisa cari second opinion atau konfirmasi dari orang lain dan akhirnya cerita ini masih ada dan masih jelas di kepala gua.

Situasi: Siang hari menuju sore, setelah jam makan siang. Kakak gua lagi nggak di rumah, kemungkinan besar lagi main sama temen-temennya (ini yang menurut gua paling mungkin, sehingga gua rasa waktunya cocok dengan tahun terakhir gua SMP atau tahun pertama gua SMA). Der Weise Vater dan La Signora Grande lagi keluar untuk, antara bayar tagihan listrik, bayar tagihan air, atau belanja bulanan, atau kombinasi dua diantaranya, atau bahkan ketiga-tiganya. Intinya, gua di rumah sendirian selama sekitar 2-3 jam.


Gua agak males ngegambar untuk ngejelasin tata letak ruangan di HQ1, jadinya semoga penjelasan berikut ini cukup.

Gua di lantai 1 rumah, yang merupakan 1 ruangan besar: ruang tamu, sisi yang ada meja makannya, tangga ke lantai 2, dan ruang TV yang nyambung ke dapur. Nggak ada sekat/dinding diantara ruangan. Kalo dari arah Barat ke Timur, ada ruang tamu, terus meja makan dengan tangga di sebelahnya, terus ruang TV.

Posisi gua waktu itu adalah duduk di lantai, menghadap ruang tamu, membelakangi tangga, dan meja makan ada di kiri gua. Ini sih yg paling penting. Paragraf sebelumnya boleh diabaikan (maap kalo lu udah berusaha memahaminya). Di depan gua ada meja lipat dan gua taruh laptop diatasnya untuk main dan/atau internetan. Intinya, garbage time sampe orangtua atau kakak gua pulang.


Nah (lagi) waktu itu, gua lagi nonton sesuatu di YouTube, dan kalo ada bagian layar yang hitam, gua bisa liat pantulan apa yang ada di belakang gua, yaitu tangga ke lantai 2 dan pegangan tangannya. Hal yang bisa diabaikan, mestinya, karena emang posisi gua ada disitu. Hal yang bisa mantul di layar laptopnya emang cuma kepala gua atau tangga.

Tontonan gua akhirnya jadi serba hitam atau layarnya mati karena gua tinggalin sekian lamanya karena bosen, dan gua bisa liat dengan jelas pantulan tangga yang ada di belakang gua dengan jelas di keseluruhan layar. Di salah satu sudut, gua liat, dengan sejelas-jelasnya pantulan di layar laptop, ada pakaian atasan yang sepertinya digantung pakai hanger (hanger, if you will) di pegangan tangannya tangga. Lebih tepatnya, jaket yang gua yakini adalah jaket kulit. Kenapa "sepertinya"? Karena gua nggak inget tentang hangernya, tapi gua bisa liat kalo bagian bahunya lurus dan tegas, sama seperti kemeja atau kaos yang digantung pakai hanger.

Dalam hati gua, "ooh, jaket kakak gua." Kebetulan emang waktu itu dia punya jaket kulit. Yah, mungkin kakak gua lagi nggak pengen pake jaket kulitnya untuk keluar rumah kali ini, makanya digantunglah jaket itu di pegangan tangga. Okedeh. Karena hal berikut ini adalah sesuatu yang biasanya gua lakukan, gua nengok untuk semacam konfirmasi kalo jaketnya ada di situ. Kemungkinan besar sih gua pengen ngomong semacam, "njing kakak gua punya jaket kulit tapi gak dipake. gua aja gak punya. huft." Lagi-lagi, cuma suatu hal remeh yang biasa terjadi.


Pas sekilas gua nengok itu, gua liat pegangan tangga aja.


Terus gua balik lagi ke layar laptop, gua liat "jaket kulitnya masih digantung di situ".


Terus gua nengok lagi, kali ini nggak sekilas, dan gua tetep liat pegangan tangga aja.


Gak ada jaket kulit, gak ada apapun, digantung di situ.


Gua bangun dari duduk, gua jalan ke ruang tamu, balik arah menghadap laptop dan tangga, dan gua diam. Gua diam dan gua mikir, "Barusan itu, apa sih? Gua lagi ngapain? Sekarang jam berapa? Apa yang barusan gua lihat? Yang lebih penting lagi, apa yang barusan nggak gua lihat?"

Gua di rumah sendirian, waktu itu sekitar jam 2 siang, gua lagi main laptop sambil membelakangi tangga, dan gua liat di layar laptop ada pantulan jaket kulit yang digantung di pegangan tangga, dan gua nggak liat jaket kulit tergantung di pegangan tangga.


Gua yakin sama apa yang terjadi disitu (mungkin gua pernah cerita di blog ini juga), kecuali tentang apa yang gua lihat/tidak lihat. Waktu itu gua gatau kejadian itu apa karena baru pertama kalinya gua alami, dan sampai sekarang gua masih gatau kejadian itu apa.

Kalo lu bilang ini serem, gua bilang sih nggak. Janji akan adanya hantu itu serem; menakutkan.

Kalo lu bilang gua salah liat, maka lu harus meyakini kalo gua gak bisa bedain antara pegangan tangga dan peganggan tangga yang sebagian tertutup dengan sesuatu yang digantung di depannya.


Gua nggak takut karena gua mungkin ngeliat penampakan sesuatu yang biasanya nggak nampak.

Gua takut karena pengalaman ini belom pernah kejadian sebelumnya dan sepertinya nggak bisa diciptakan lagi dan kalo terpaksa, kesimpulan yang bisa dibuat adalah "ada yang salah dengan otak gua" dan gua nggak bisa menghindari kesimpulan itu.


Ya kalo menurut lu ada yang salah dengan otak gua, mungkin 4 kali mimpiin mimpi teror wabah zombi yang sama di 3 kesempatan (waktu dan tempat) yang beda adalah buktinya, gua bakal ikutan ngangguk. Mungkin gua ceritain lain kali. Sialnya, diary mimpi-mimpi gua nggak gua bawa ke Prancis, jadinya kalo ceritanya nggak ada di blog ini, gua gak bisa ceritain dengan runtut dan lengkap. Kita liat nanti deh.


Yoho~

gua pengen ngomong tentang pengalaman pertama gua bermain poker x12

 Yo.


Cak gua sebaiknya nulis ini cepet-cepet dan mulai makan malem sambil nonton anime.


NOSTALGIA!

Mungkin bagi lu, main poker adalah hal biasa karena sejatinya poker adalah permainan kartu.

Bagi gua, pengalaman ini adalah sesuatu yang luar biasa dan, pastinya, mengubah hidup gua ke arah yang (waktu itu belum) lebih baik.


Kejadiannya pas gua SD kelas 4. Gua di kelas 4C yang letaknya di pojok gedung yang deket dengan toilet. Yang gua inget sih, aromanya biasa aja. Mungkin waktu itu, hidung gua rusak. Gua gatau juga.

Kembali ke topik utama. Gua di 4C. 1 ruangan menjauh dari toilet, kelas 4B. 1 ruangan lebih jauh lagi, kelas 4A. Itulah tiga kelas 4 yang ada di SD gua. Bukan SD yang paling gede, tapi SD yang menanamkan beberapa nilai penting dalam hidup gua. Waktu itu, bisa dibilang kalo kelas 4C, kelas gua, adalah kelas dengan jumlah "anak berandal" paling banyak. Bukan berarti di kelas lain nggak ada, tapi paling banyak ada di kelas gua.

Definisi "anak berandal" disini adalah anak yang sering ngobrol di kelas dan ketauan guru (kalo nggak ketauan, nggak dihitung), ada cerita kalo mereka pernah bolos dengan sengaja, nilainya kurang bagus, atau secara umum nggak akan disarankan oleh orangtua untuk dijadiin temen di sekolah.

Mungkin menurut lu, anak-anak ini bukan kelompok terbaik untuk diikuti. Menurut gua waktu itu, ada beberapa anak berandal yang akan gua bilang sebagai temen terbaik gua. Waktu itu, seinget gua, di kelas gua ada 2 anak yang pernah nggak naik kelas dan 1 anak yang merupakan adik dari seorang anak yang pernah nggak naik kelas, yang waktu itu punya kecenderungan ke arah sana juga. Kalo lu kenal gua di dunia nyata, mungkin lu bertanya-tanya kenapa gua bisa berteman dengan anak-anak seperti ini. Singkatnya, waktu itu mereka adalah anak-anak yang sebelumnya temenan dengan kakak gua (sebelum akhirnya mereka nggak naik kelas, sebelum akhirnya gua jadi kenal juga sama adik dari salah satunya yang memang seangkatan dengan gua) dan mereka pernah melindungi gua pas ada "insiden" waktu gua kelas 3 (setahun sebelumnya). Gua akan cerita tentang "insiden" ini di sesi postingan nostalgia ini. Mungkin bukan postingan setelah ini, tapi gua akan cerita.


Kembali ke cerita utama. Suatu siang sepulang sekolah, gua punya waktu sebelum jemputan sekolah dateng dan kita cabs. Gua keluar dari kelas gua dan mulai jalan ke arah parkiran. Pas gua lewat kelas 4B, gua liat lewat pintunya yang kebuka, kalo ada temen-temen "berandal" gua lagi ngumpul di satu meja. Mereka ngeliat gua, gua diundang, dan karena gua nggak ada alasan untuk nolak, gua datengin meja itu. Ternyata, mereka lagi main kartu. Waktu itu, gua udah kenal permainan kartu lewat tante-tante gua. Kalo gua lagi main ke Jakarta, kalo sekalian nginep, kita biasanya malem-malem ngobrol sambil main 41, kartu setan, atau tepok nyamuk; permainan kartu klasik untuk keluarga.

Kali ini, mereka main sesuatu yang disebut "gabruk", sesuatu yang baru buat gua. Waktu itu, gua belom kenal poker. Gua bahkan belom pernah denger namanya, kalo nggak salah. Mungkin gua pernah nonton film dewa judi (gua cuma inget adegan pas dia mesti gigit dan makan kartu di tangannya), tapi gua cuma paham kalo dia lagi "main kartu". Di momen itulah, gua jadi kenal kalo kartu akan lebih bernilai kalo masuk ke formasi pair, threes (atau three of a kind), full house (kalo nggak salah sih, waktu itu gua diajarin kalo namanya threes-pair karena emang itu kombinasi threes plus pair), dan kombinasi yang paling bikin sakit hati, alias pembunuh joker sebagai kartu terkuat, yaitu piting alias four of a kind. Kayaknya waktu itu kita mainin seri (straight) juga, tapi flush nggak. Gua kenal flush setelah gua masuk SMP.

Yang gua inget, sebagai rookie yang baru pertama kali main, sebelum akhirnya gua udahan karena jemputan udah dateng dan gua dipanggil, gua menang dengan piting ke temen yang ngajarin gua. Luar biasa. Mulai dari momen inilah, gua mengenal permainan poker dan fakta bahwa tiap daerah punya istilah dan peraturan masing-masing. Ada yang nyebutnya emang poker. Gua dateng dari daerah yang nyebutnya gabruk. Ada yang nggak pake joker, dan 2 adalah kartu terkuat. Ada yang selain adu kuat nilai kartu "sampahan" atau "satuan" (yang nggak bisa masuk ke formasi apapun), bisa juga adu kuat "daun" atau suit kartunya. Indahnya keberagaman.


Yang cukup spesial juga dari momen itu adalah fakta bahwa anak-anak dilarang bawa kartu ke sekolah dan kalo ketauan guru, kita akan dihukum dan kartunya disita. Cuma waktu itu gua lebih peduli ke serunya permainan baru ini dan kita nggak kepergok guru. Untungnya.

Shoutout untuk Deni, Yodi, dan Chandra brothers, Andreas & Denis.


Yoho~

gua pengen ngomong tentang pertama kalinya gua masuk sekolah x11

 Yo.


Njir gua lupa nulis mulu.

Sekarang udah hampir malem dan gua mesti nulis 2. Huft.


NOSTALGIA!

Gua pengen mulai nulis sesuatu yang agak kronologis (kayak potongan-potongan superhero origin story gua). Sepertinya, gua bisa mulai nulis hal serupa dari postingan ini.


Pertama kalinya gua masuk sekolah adalah pas gua mulai masuk ke TK alias Taman Kanak-kanak. Karena waktu itu galaksi-galaksi lagi sejajar (mungkin), gua masuk TK sebelum gua ulang tahun ke 4; gua masuk TK 0 kecil di pertengahan tahun 1999.

Sejak saat itulah, dimulai siklus dimana tingkatan gua di sekolah sama dengan tahun saat itu dikurangi 2000. Contoh: 2001, gua masuk kelas 1. 2007, gua masuk SMP, dst.

Kembali ke TK. Kalo lu kenal gua di dunia nyata, mungkin lu bisa nebak gimana reaksi gua pas pertama kali dateng ke sekolah dan masuk kelas. Siapin imajinasi lu. Gua rasa 10 detik cukup.

Siap?

Nah, pertama kali gua masuk ke gedung TK, masuk kelas, ibu gua keluar kelas, dan akhirnya kelasnya dimulai, gua nangis super kenceng dan kabur dari kelas. Tanpa ngambil tas yang waktu itu gua bawa, gua lari keluar kelas, manjat jendela sekolah, pegang jeruji jendela, dan goyang-goyangin jerujinya sekuat tenaga sambil nangis dan teriak-teriak. Kalo nggak salah, waktu itu gua liat ibu gua keluar dari lingkungan sekolah dan pagar sekolah menutup di belakang ibu gua. Sad boy, sad life. Liek if u cri evrytiem.

Keren kan?


Seinget gua, waktu itu cuma gua doang yang ngamuk kayak gitu. -100 poin untuk berusaha membaur dengan anak-anak yang baru pertama kali gua temui. Mungkin lu berpikir, "Kakak lu dimana?" Nah, waktu itu, jam sekolahnya dibagi. TK 0 kecil mulai jam 7 pagi sampai (njir gua lupa jam berapa). TK 0 besar (kakak gua ada disini) dimulai dari jam itu sampai jam 12 (kalau nggak salah). Intinya, anak TK 0 kecil nggak akan ketemu anak TK 0 besar kecuali papasan pas gantian.

Begitulah, TK yang gua datengin nggak punya gedung yang gede jadinya mesti gantian.

Jadi, waktu itu gua nggak punya kenalan sama sekali kecuali 1 temen gua yang tinggal di komplek yang sama, yang waktu itu gua udah kenal. Atau nggak. Entahlah, gua lupa. Setelah gua akhirnya ikut jemputan sekolah (bukan yang disediain pihak sekolah, tapi dari konsorsium beberapa orangtua yang tinggal di komplek gua), gua dapet 3 temen. Tapi di hari itu, di momen itu, gua rasa gua bener-bener sendirian di tempat asing sehingga gua takut dan berusaha kabur.

Gua lupa gimana akhirnya hari itu berlanjut, tapi pas udah selesai, ibu gua dateng lagi karena gantian nganter kakak gua. Disitu, guru kelas gua jelasin apa yang terjadi di pagi harinya. Gua diketawain sama kakak gua karena gua nangis (menurut gua, wajar dan sangat layak untuk diberikan ke gua). Ibu gua jadi tau juga. Gua pun dibawa pulang naik angkot, dan kehidupan berlanjut.


Demikianlah hari pertama gua mengenyam pendidikan di luar rumah.

Kayaknya bukan sesuatu yang membanggakan, tapi gua merasa bangga karena akhirnya gua bisa sekolah disitu, terus ke sudut kota yang lain, terus ke kota lain, dan yang terkini ke negara lain di benua lain.

Untuk sekarang, ciao.


Yoho~

Sabtu, 05 Desember 2020

gua pengen ngomong tentang seiprit yang lain dari superhero origin story gua x10

 Yo.


Gua lagi nggak ada inspirasi nih, jadinya gua nulis kelanjutan dari postingan nomor 3 aja.

Bukan kelanjutan secara kronologis, tapi untuk melengkapi postingan 3. Lebih tepatnya, postingan ini akan membahas lebih mendalam tentang ketertarikan gua dengan dunia kelistrikan sampe akhirnya gua kuliah supaya bisa kesetrum (spoiler: gua nggak pernah kesetrum pas kuliah. hiks).

Gua jadi makin ragu kalo postingan in bisa dibilang "kelanjutan". Gua males benerin, ah. Mari kita lanjut saja.


Dasar ketertarikan gua dengan dunia kelistrikan datangnya dari Der Weise Vater. Waktu gua dan kakak gua (dan ibu gua diem-diem pas malem) main dengan konsol PS1, kita nggak jauh dari yang namanya banting stik. Teknik ini adalah suatu gerakan yang mulus dengan tujuan meluapkan emosi pemain. Sialnya, konsekuensinya adalah controller yang dipegang akan mencium lantai dengan kecepatan tinggi.

Kalo stik PS udah rusak, sebelum akhirnya beliau ke Grogol (shoutout Grogol wuuhuuu!), Der Weise Vater akan "mencoba" memperbaiki stik itu. Der Weise Vater biasanya bakal ngebuka semua skrup dan ngecek apakah ada sambungan kabel atau titik solder yang copot atau putus. Sebagai lulusan jurusan radio, Der Weise Vater terlatih dalam hal-hal yang kayak gini. Beliau punya 1 tas abu-abu khusus (yang masih dipake sampe sekarang) untuk nyimpen berbagai obeng, tang, dan solder + timah.

Waktu itu, buat gua ini adalah puncak kebermanfaatan manusia. Der Weise Vater "ngotak-ngatik" stik PS adalah salah satu diantara hal terkeren di dunia pada jamannya, menurut gua, selain kartun di minggu pagi. Sialnya, gua nggak pernah diajarin. Kalo gua analisa sekarang, kayaknya Der Weise Vater juga nggak paham aspek teknis dari stik PS, cuma aspek "nyambung atau nggak"nya aja, jadinya wajar kalo gua nggak diajarin dan solusi andalannya tetep pergi ke Grogol.

Black screen. (Sebut saja) beberapa tahun kemudian.

Oh iya gua "suka" banting stik itu pas masih SD. Kali ini, gua udah masuk SMP. DUN DUN DUNN!!! Di SMP gua, ada pelajaran elektronika! Disinilah gua belajar dengan bener, dan pertama kalinya, tentang kelistrikan. Shoutout Pak "Jack" Zakaria dan Pak Soma. Gua akhirnya dikenalin ke rekan-rekan seperti Ohm, Volta, Monsieur Ampere, dan Kirchoff (barusan gua Googling biar nggak salah sebut). Gua akhirnya megang solder dan menyolder komponen ke PCB. Ada masa dimana gua seneng dengan bau plastik pembungkus timah yang kebakar pas lagi nyolder. Mungkin disitulah otak gua keracunan dan mulai jadi gila.

Satu hari, gua lagi nyolder di rumah. Seinget gua, ada tugas elektronika (mungkin lebih ke proyek kecil untuk tiap siswa) antara bikin adaptor sederhana atau radio sederhana. Cuk barusan gua jadi inget kalo di adaptor sederhana yang gua bikin, ada 1 komponen yang salah pasang jadinya nilai gua berkurang. Barangnya jadi dan "tujuan dari rangkaian"nya tercapai alias terverifikasi, tapi karena komponen itu salah tempat, jadinya gua nggak dapet poin penuh karena nggak tervalidasi. Kembali ke topik utama! Waktu gua lagi nyolder (sambil nonton TV kalo nggak salah), gua sempet kehilangan fokus dan akhirnya gua pegang soldernya di tangkai logamnya. Sedap. Kalo lu nggak pernah pake solder, mungkin lu bisa bayangin kalo lu lagi masak dengan panci panas, terus lu pegang bagian logam pancinya, bukan pegangannya.

Gua langsung "hawawawahawa" dong. Larilah gua ke sisi belakang rumah gua (HQ1), dimana gua punya pilihan untuk ke toilet, tempat cuci, kulkas, atau sudut gudang. Karena waktu itu gua sangat bego, di otak gua muncul logika begini: "jari gua rasanya panas! panas asalnya dari api! api dipadamkan dengan air! cemplungin tangan gua ke air = solusi!" Beberapa menit setelahnya, gua udah sadar kalo itu logika yang salah. Jari gua masih perih dan nyut-nyutan banget. Akhirnya gua beralih ke pasta gigi, walaupun kayaknya udah terlambat karena gua udah nyemplungin jari gua ke air dingin selama beberapa menit.

Oiya, yang "kebakar" adalah ruas ujung jari tengah dan manis di tangan kiri gua. Di tengah kepanikan dan kesakitan, gua sentuh jempol gua dan jempol gua nyentuh ruas ujung jari telunjuk gua sehingga ikutan kebakar gua.

Ooh indahnya kebodohan seorang anak~

Di akhir hari itu, gua punya 1 rangkaian elektronika, dan 4 jari yang terbakar dengan, masih sampe sekarang, sidik jari yang rusak. Kalo sidik jari lu ada lengkungan, belokan, lingkaran, swirl, dan sebagainya, maka gua ada ekstra garis-garis lurus pendek yang memotong lengkungan-lengkungan yang ada. Anggeplah sidik jari yang baru pulang dari perang, penuh codet. Mulai dari momen inilah, gua punya hubungan love-hate dengan dunia kelistrikan. Gua suka banget dengan topiknya, gua nggak akan menyesal pernah 2 kali kesetrum (220V dan nggak langsung dari stopkontak, sih), gua suka menghadapi pelajarannya, tapi (mungkin) selamanya gua akan punya luka perang ini di tangan kiri gua.

Tahun 2017, gua bisa dibilang murtad ke dunia aeronautika, sih, tapi gua belum murtad dari Ironman.


Gua milih momen ini sebagai batu kedua (batu pertamanya adalah kelahiran gua) dari superhero origin story gua karena momen ini sudah diabadikan secara resmi di hidup gua. Menurut lu, ada nggak cara yang lebih gokil untuk mengabadikan luka perang gua selain fakta bahwa kalo lu lulus SMP dan SMA harus cap 3 jari tangan kiri lu di ijazah? Gua baru sadar segera setelah jari gua lepas dari ijazah SMP gua dan disitulah momen ini akan selamanya terukir di hati gua. Betapa bangganya (awalnya sih agak kezel) gua melihat goresan-goresan di sidik jari berwarna ungu yang ada di ijazah gua. Terlalu spesial untuk dilupakan.


Sekian.


Yoho~