Kamis, 17 Desember 2020

gua pengen ngomong tentang kedua kalinya gua berantem di sekolah x22

 Yo.


Teaser-nya udah ada di cerita pertama, sekarang gua ceritain yang kedua.

Postingan sebelumnya mungkin bisa disebut 'berantem' juga sih, tapi menurut gua kejadian itu lebih cocok dibilang adu mulut aja.

Kali ini, ada bagian hantamnya. Bukan baku hantam, tapi ada hantaman dari 1 pihak ke pihak lain, baik secara fisik maupun emosional.


Momen ini jadi super spesial karena gua berantemnya dengan orang yang kalo gua liat balik adalah sahabat terbaik gua pas SMP, yang kita sebut aja sebagai LKM. Secara umum, gua nggak pernah bilang ke orang kalo mereka adalah "sahabat" atau "temen aja" atau semacamnya karena itu bukan gaya gua. Gaya gua adalah gua benci semua orang sama rata #keadilan. Kalo kasih sayang, ada beberapa orang yang gua kasihi lebih dari yang lain, dan mungkin bagi orang-orang inilah yang disebut "keluarga" atau "sahabat".

LKM adalah sahabat gua nomor 1 pas gua SMP. 3 tahun kita sekelas. 3 tahun kita ngerayain ultah bareng. 3 tahun kita main pokemon. 3 tahun kita bego-begoan. Kalo soal akademik, anak ini dewa. Di kelas RSBI waktu itu, ada beberapa anak super pinter. LKM ini dewa karena selain super pinter, dia eksentrik dan bisa dibilang wild card. Ada momen yang wow karena kepintarannya, ada yang wow karena kebegoannya.

Pernah dia nulis 7/7=2. Waktu itu kita sebut kalo itu adalah teori baru yang mungkin bisa ngegantiin Hukum Relativitasnya Einstein.

Pernah dia lupa salah satu nama tokoh penting yang jadi jawaban ulangan sejarah dan dia tulis namanya jadi "Majindun." Gua udah lupa siapa yang dimaksud, tapi pastinya bukan Majindun. Entah nama itu dateng dari mana, tapi itulah jawaban yang ditulis LKM.

#MenolakLupa

Kalo dibanding dia, gua sih nggak seberapa. Mungkin gua punya 1-2 momen akademik yang bersinar sementara LKM hampir selalu bersinar. Oh tapi gua bisa nyentuh lantai dengan jari tangan di posisi bungkuk, LKM waktu itu nggak bisa. Tapi dia bisa masuk posisi kayang dari berdiri tegak; super gokil.

Dari yang gua inget, kita nggak pernah peduli tentang segala perbedaan kita sih. Mungkin itulah resep pertemanan yang tahan lama.


Waktu itu kita di kelas 3 SMP. Dari beberapa minggu sebelumnya, LKM lagi digosipin "temen-temen-demen" dengan 1 temen cewek yang sekelas. Sebagai remaja 16/17 tahun di 2012/2013, ngecengin alias ngecie-ciein temen sekelas yang "temen atau demen" adalah sesuatu yang dicari tiap hari dan akan jadi topik hangat untuk waktu yang lama.

Gua, sebagai anak SMP dan temen yang bajingan, ngikut. Kalo biasanya gua ikut ketawa atau sedikit ngeledek, hari itu gua ngeledeknya, bisa dibilang, berlebihan. Karena gua bego dan kekurangan interaksi dengan manusia, gua rasa gua cuma ikut ngeledek aja, nggak ada yang berlebihan.

Apakah gua akhirnya sadar kalo gua udah berlebihan ngeledek si LKM? Yap. Apakah gua sadar dengan sendirinya? Nggak. Waktu jam istirahat siang itu, pas gua dan LKM lagi nongkrong di depan kelas, dia "tiba-tiba" (ini dari sudut pandang gua. kalo dari sudut pandang dia, mungkin emang wajar dan udah waktunya) nyakar lengan gua. Cakarannya panjang, nyaris dari deket pergelangan tangan ke deket siku, dalam, bengkaknya akan bikin orang yang liat bisa ngebayangin sakitnya, dan penuh amarah, bisa diliat dari ekspresi si LKM. Dari momen itulah, dimulai perang dingin antara gua dan si LKM. Gua yang bego, cuma bisa mikir kalo "sepertinya" gua udah ngeledek dia berlebihan. Kalo diliat lagi, mungkin ada baiknya gua nggak ngeluarin argumen "gua cuma ngelakuin yang anak-anak lain lakuin ke lu, tapi kok gua yang sampe dicakar dan yang lain nggak." 100 poin untuk gua yang memutuskan untuk diam aja(?). Sepulang dari sekolah, ibu gua ngeliat tangan gua ada tanda cakaran yang bengkak dan mulai jadi ungu. Gua akui, kulit gua emang super lemah dan gesekan kecil akan bikin bengkak yang lebih parah dari luka aslinya dan warna ungu itu super berlebihan menurut gua. Gua bilang dong, tadi kita lagi main aja, terus gua nggak sengaja kena cakar. Waktu itu, ibu gua bilang kalo sebaiknya gua nggak temenan sama anak yang bisa ngelukain gua kayak gitu. Karena gua tau cerita aslinya dan seberapa parah luka ini sebenernya, gua cuma ngeiyain biar ibu gua tenang.

Sampai beberapa hari setelahnya, kalo nggak salah hampir seminggu, gua diem-dieman sama si LKM. Karena kita sebelumnya terlalu sering nongkrong berdua, diem-dieman ini jadi topik hangat di kelas. Disini, sebagai penganut jalan hidup "diam adalah emas" dan "konsistensi adalah kunci", gua nggak memulai langkah apapun untuk memperbaiki hubungan yang lagi retak ini. Gua cuma menjalani hari-hari dengan belajar (titah orangtua, coy) dan introspeksi dalam hati aja.

Suatu hari, gua lupa pemicunya apa, kita baikan. Kayaknya sih si LKM yang inisiatif. Gua cuma menerima dengan hati dan tangan terbuka. Seperti cerita sebelumnya, gua udah memahami situasinya dengan logis di otak gua, tapi gua nggak punya inisiatif untuk mulai aja. Tapi karena kesempatannya dateng, gua ambil. Kita kembali ke bego-begoan sehari-hari, dan kehidupan berlanjut.


Kalo ada pesan moral yang bisa gua kasih dari cerita ini, gua mau bilang kalo lu juga tipe yang pendiam dan nggak punya inisiatif kayak gua, jangan tunda untuk mainin semua skenario yang ada di kepala lu untuk mencapai sebuah kesimpulan. Lu harus udah punya kesimpulan pas waktunya tiba, dan waktunya bisa tiba kapan aja (makanya nyebelin, tapi disitulah triknya).

Kalo kata orang, kalo bisa, lu mesti selesai berantem sebelum matahari terbenam. Saran gua sih, jangan berantem sambil jalan-jalan ke arah timur.


Yoho~


Tidak ada komentar :

Posting Komentar