Rabu, 27 Juni 2018

30 Days of Gratitude Challenge, Numero Vingt-Six : Forms of Expression

Yo.

Gua barusan minum sekaleng soda karena haus.
Bukan sponsor, jadi mereknya nggak akan gua kasih tau.
Gua bersyukur atas orang-orang di sekitar gua yang bisa berekspresi. Serius. Untuk mempersingkat cerita yang panjang, mari kita sepakati bahwa gua adalah seseorang yang tidak bisa berekspresi dengan normal. Oleh karena itu, melihat ekspresi orang-orang di sekitar gua merupakan kesenangan tersendiri dan pengingat bahwa "menunjukkan ekspresi" bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi bentuk kejujuran dan kesadaran yang layak diapresiasi.
Gua bersyukur atas adanya seorang sahabat sejak SMA yang sangat ekspresif. Mari kita omongin dia karena dia nggak tau tentang keberadaan blog ini. Untuk mempersingkat cerita yang panjang, sebut saja orang ini sebagai orang yang sangat gua percaya dan sangat gua hargai. Dia adalah 1 dari 2 orang yang pernah menginterogasi gua (pas baru lulus SMA) tentang cewek yang gua suka di SMA kita. Gua sadar bahwa waktu itu gua menjawab dengan nama cewek yang gua suka urutan 2, bukan yang urutan 1 pada jamannya. Hal ini sampai saat ini masih jadi semacam penyesalan buat gua untuk tidak mengulang pengkhianatan yang seharusnya tidak terjadi ini. Gua emang gitu orangnya.
Gua bersyukur atas para amatir yang menciptakan suatu karya berdasarkan emosi yang dirasakan. Entah kenapa, gua merasa kalau amatir itu bakal lebih jujur aja di karyanya. Favorit gua : puisi yang cikidiw; puisi, tapi kalo lu tau kalau temen lu yang buat itu dan sedikit latar belakang puisi tersebut, lu bakal bilang "Cikidiw! Hahaha!" Kira-kira gitu. Ringan, bisa dibaca sambil numpang lewat, gratis, dan menurut gua lebih terasa jujur aja.
Gua bersyukur atas orang-orang yang berekspresi dengan "melakukan hal-hal biasa secara luar biasa". Ambil contoh dari suluh tauladan gua dalam hal ini, La Signora Grande dan Der Weise Vater. Der Weise Vater, seperti stereotip figur ayah yang baik, suka mentraktir anak-anaknya ketika mereka mendapat sesuatu yang bagus di sekolah. Bedanya, beliau cuma sangat kurang di bagian "menunjukkan rasa bangga" secara ekspresif, setidaknya itulah yang gua rasakan. La Signora Grande, bisa terlihat kalau ada perayaan khusus di rumah: ulang tahun, tahun baru, hari raya, dsb. Tanpa angin dan hujan, makanan jadi lebih lezat, lantai jadi lebih wangi, teguran jadi lebih lembut, dsb. Memang suluh tauladan remaja.
Gua bersyukur atas orang-orang yang bisa mengapresiasi ekspresi gua. Di poin pertama, gua terinspirasi. Gua pun sesekali mencoba berekspresi, di momen yang menurut gua tepat, sebisa gua. Seperti yang bisa diharapkan dari gua, biasanya gua ujung-ujungnya akan bikin lelucon yang sangat tidak lucu untuk para pendengarnya, kecuali diri gua sendiri. Yap, lelucon gua setidaknya bisa menghibur seseorang yaitu gua. Oleh karena itu, kalau ada yang paham lelucon gua dan tertawa, gua akan selalu memberikan aplaus dalam hati. Gua sadar bahwa otak gua dipenuhi ilmu eksakta, sarkasme, sesendok makan satire, 4 sendok semen pertimbangan yang buruk, 100 sendok teh meme, dan 1 miligram relevansi ke audiens.

Kira-kira gitu deh.
Ekspresi memang bukan sesuatu yang gampang terlihat dari gua.
Dosen gua yang sekarang pun ada yang mengakui bahwa "Renato itu selalu serius."
Gua lupa apakah pas SD-SMA pernah ada guru yang bilang itu ke gua, tapi pas S1 itu pernah dan sekarang ada lagi.
Huft.
Emang muka gua susah banget nyantainya.
Tapi 1 hal yang mau gua bilang: Gimana gua bisa nyantai di dunia yang menarik seperti ini?
Yap, keluarlah kita dari topik utama.

Yoho.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar